Salah satu penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di Unmul terjadi akibat relasi kuasa. Relasi kuasa hadir lantaran adanya kepentingan mahasiswa terhadap dosen.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Menjadi salah satu perguruan tinggi terpandang di Kalimantan Timur, nyatanya tidak membebaskan Universitas Mulawarman dari kasus kekerasan seksual. Mirisnya, tiga di antara 27 kasus yang ditangani oleh Satgas PPKS Unmul justru dilakukan dosen di kampus ini.
Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Mulawarman (Satgas PPKS Unmul), Haris Retno mengatakan, salah satu penyebab terjadinya kasus tersebut adalah relasi kuasa.
“Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa yang selama ini ada dan mengakar di perguruan tinggi,” ungkapnya pada pernyataan tertulis yang diterima oleh media ini pada Senin (5/8/2024).
Relasi kuasa tersebut hadir lantaran adanya kepentingan mahasiswa terhadap dosen. Baik dalam proses bimbingan penyelesaian tugas akhir, pelaksanaan penelitian yang dilakukan di luar perguruan tinggi, hingga relasi kuasa yang terjadi dalam interaksi di kelas selama proses perkuliahan berlangsung.
Tidak tanggung-tanggung, kata Haris, kasus kekerasan seksual ini pun menyeret salah satu dosen yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan di salah satu Fakultas di Universitas Mulawarman.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satgas PPKS Unmul, terlapor terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) huruf l Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, yakni menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan korban.
“Sehingga kami merekomendasikan agar dia diberikan sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap sebagai pendidik di Unmul,” sambungnya.
Hingga saat ini, kasus tersebut sedang diproses oleh Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi di Jakarta.
Berbeda dengan kasus pertama. Seorang dosen di Unmul yang satu ini terbukti melakukan diskriminasi gender pada mahasiswanya saat proses perkuliahan di kelas sedang berlangsung.
Sehingga sanksi yang diberlakukan hanya berupa sanksi administratif. Yang bersangkutan sudah diberikan teguran tertulis. Dan terlapor telah melakukan permintaan maaf serta tidak mengulangi perbuatannya sesuai permintaan korban sebagai pelapor.
Kemudian kasus terakhir. Kali ini melibatkan seorang guru besar di salah satu fakultas yang ada di Unmul. Bahkan kejadian tidak menyenangkan ini terjadi pada enam pelapor.
Pada kasus ini, dosen tersebut terbukti melakukan perbuatan berupa menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan siulan yang bernuansa seksual pada korban.
Akibatnya, ia direkomendasikan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan dan larangan bagi terlapor untuk menduduki jabatan strategis di lingkungan Universitas Mulawarman.
Sebenarnya tak hanya tiga kasus ini. Selama dua tahun masa bakti periode 2022-2024, Satgas PPKS Unmul telah menangani 27 kasus dari 60 orang yang melakukan pelaporan. Dua puluh tujuh pelaporan kasus itu terdiri dari 21 kasus kekerasan seksual, 3 kasus kekerasan fisik non kekerasan seksual, dan 3 laporan tanpa identitas. Dari sejumlah kasus yang ditangani, 3 kasus di antaranya melibatkan 3 orang terlapor yang berstatus sebagai dosen di Universitas Mulawarman.
Oleh karena itu, Satgas PPKS Unmul melakukan berbagai upaya agar hal serupa tidak terulang lagi.
Mulai dari membatasi waktu serta tempat pertemuan antara mahasiswa dengan pendidik, dosen, atau tenaga kependidikan.
Kemudian memberikan sosialisasi agar penyebarluasan bentuk kekerasan seksual dapat diketahui dan dipahami sehingga menjadi panduan agar tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual.
Dan membuat sebuah hotline whatsapp Satgas PPKS Unmul 0851-7691-9149 dan instagram @SatgasPPKS.Unmul bagi pihak-pihak yang ingin mengadu.
“Laporan yang disampaikan oleh saksi dan/atau pelapor disertai jaminan keberlanjutan studi/dan atau pekerjaan, serta tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” tukas Haris. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Redaksi Akurasi.id