Kaltim.akurasi.id, Penajam Paser Utara – Di tengah gemerlap pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), tersimpan kisah getir sembilan warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku. Lahan yang mereka garap turun-temurun kini telah berubah menjadi rest area megah, namun ganti rugi yang dijanjikan tak kunjung mereka terima sejak 2021 silam.
Salah satunya adalah Lamsyah. Bersama delapan warga lainnya, ia terus berjuang menuntut kejelasan atas lahan yang telah digarap keluarganya sejak 1960-an. Padahal, sebelum proyek IKN dimulai, pemerintah daerah sempat menjanjikan kepastian hukum atas lahan itu.
“Sejak dulu kami sudah punya surat penggarapan, baik dari Pemerintah Kota Balikpapan (karena waktu itu PPU masih masuk Balikpapan) maupun dari Desa Bumi Harapan,” ujar Lamsyah, Minggu (2/11/2025).
Sebelum proyek IKN hadir, lahan seluas 42,8 hektare tersebut sempat direncanakan untuk pembangunan Kampung Ternak dan Mandiri Energi oleh Pemkab Penajam Paser Utara pada 2016. Saat itu, warga dijanjikan satu kepala keluarga akan dibangunkan empat rumah—satu untuk kepala keluarga dan tiga untuk para pewaris. Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda.
“Yang kami terima hanya satu rumah, itupun dalam kondisi tidak layak dan tanpa surat kepemilikan,” ungkapnya.
Baca Juga
Ironisnya, di area yang sama justru berdiri megah Rumah Singgah Bupati PPU, sementara warga penerima rumah program justru hidup dalam ketidakpastian.
Masalah makin pelik setelah pada 2022 terbit Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 00007 atas nama Pemkab PPU, yang mencakup lahan milik sembilan warga tersebut.
“Sejak tahu SHP itu terbit, kami bingung. Lahan kami yang dulu dijanjikan untuk dibangunkan rumah dan diberikan legalitas, tiba-tiba sudah atas nama pemerintah,” tutur Lamsyah.
Berbagai upaya telah ditempuh. Mereka dua kali mendatangi Kantor ATR/BPN PPU saat masih dipimpin Ade Chandra, namun tak berhasil bertemu. Warga juga mencoba mencari penjelasan ke Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Disperkimtan) PPU.
“Salah satu staf, Pak Supri, bilang tanah kami masuk HGU PT ITCI Hutani Manunggal. Tapi setelah kami konfirmasi langsung ke perusahaan, ternyata tidak masuk,” tegasnya.
Kini, Lamsyah berharap Kementerian ATR/BPN melalui kantor perwakilannya di PPU segera turun tangan dan mencabut SHP Nomor 00007 tersebut. Ia juga mendesak agar Otorita IKN (OIKN) dan Pemkab PPU menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan sengketa yang telah berlarut bertahun-tahun.
“Ini tanah warisan dari orang tua kami. Dari dulu kami menanam buah di sini, tapi sekarang sudah jadi rest area yang beroperasi tiap hari. Kami hanya ingin kejelasan dan keadilan,” jelasnya. (*)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id