Pemerintah memberikan diskon listrik 50 persen sebagai stimulus atas kenaikan PPN menjadi 12 persen. Namun, pengamat menilai kebijakan ini hanya solusi sementara dan rentan salah sasaran.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk kategori barang dan jasa mewah sejak awal tahun 2025. Di tengah kebijakan ini, pemerintah menawarkan stimulus berupa diskon listrik 50 persen selama Januari hingga Februari 2025 untuk meredam dampak kenaikan PPN sekaligus mendorong daya beli masyarakat. Namun, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.
Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, mengkritik stimulus ini yang dinilainya tidak sebanding dengan dampak kenaikan PPN. Menurutnya, meskipun memberikan sedikit kelonggaran dalam jangka pendek, manfaat jangka panjangnya belum jelas.
“Diskon listrik 50 persen ini hanya memberi kebahagiaan sesaat. Setelah dua bulan, apalagi menjelang momen besar seperti Lebaran, dampaknya tidak akan terasa lagi. Ini kebijakan sementara yang belum menyentuh masalah mendasar,” ujar Purwadi.
Purwadi juga menyoroti ketidaktepatan sasaran dalam pemberian diskon listrik. Ia mencontohkan subsidi listrik yang lebih sering dinikmati oleh pemilik rumah susun atau kontrakan, bukan oleh penyewa yang benar-benar membutuhkan.
“Banyak pemilik rumah susun yang sebenarnya mampu secara ekonomi tetap mendapat manfaat subsidi ini. Sementara, buruh yang menyewa kontrakan atau kos tidak menikmati keuntungan langsung, karena mereka tetap membayar biaya tetap kepada pemilik rumah yang sudah memasukkan komponen listrik ke dalam tarif sewa,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa masalah ini terjadi akibat minimnya monitoring di lapangan. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, subsidi listrik sering kali salah sasaran.
Purwadi juga menyoroti ketimpangan yang dihadapi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang masih di bawah Rp4 juta, ia menilai kebijakan ini belum cukup membantu.
“Berdasarkan indikator Bank Dunia, orang dengan penghasilan Rp3 juta sudah dianggap miskin. Tapi di Indonesia, garis kemiskinan kita masih pada angka 1,9 dolar per hari. Standar hidup ini tertinggal jauh, dan kebijakan seperti ini hanya menyentuh permukaan tanpa menyelesaikan masalah mendasar,” paparnya.
Ia menganggap kebijakan ini dikejar target tanpa perencanaan matang. Oleh karena itu, monitoring di lapangan harus diperketat agar subsidi benar-benar diterima oleh kelompok yang berhak.
“Eksekusi kebijakan seperti ini jangan dilakukan terburu-buru. Harus ada mekanisme pengawasan yang jelas agar manfaatnya dirasakan masyarakat yang benar-benar membutuhkan,” tegas Purwadi. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id