Ekti Imanuel begitu percaya, keuletan dan disiplin yang disemai dengan baik, tidak akan pernah menghianati hasil. Pun demikian yang selalu dipupuk Ekti dalam merintis karir politiknya hingga saat ini.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Jalan panjang dan berliku telah dilewati Ekti Imanuel menuju panggung politik di Tanah Benua Etam, sebutan Kaltim. Lahir dan tumbuh di kampung nun jauh Kabupaten Kutai Barat, tidak sedikit pun membuat Ekti berhenti menggantung mimpi untuk bisa sukses di kemudian waktu.
Bak dayung bersambut, semangat pantang menyerah, disiplin, dan keuletannya untuk meraih mimpi, kini mendapatkan pangkuan. Ia, kini Ekti, sapaan karibnya, menorehkan sejarah wakil anak hulu yang duduk sebagai Wakil Ketua DPRD Kaltim.
Melirik napak tilas itu, mungkin Ekti kecil tidak pernah menyangka, akan menduduki jabatan sebagai legislator Kaltim. Bahkan bisa dikatakan anak hulu pertama yang menduduki posisi Wakil Ketua DPRD Kaltim.
Namun, perjalanan Ekti juga tak semudah membalik telapak tangan. Terlahir sebagai anak seorang petani, 47 tahun silam, masa kecil pria kelahiran Kampung Linggang Melapeh ini tidak jauh berbeda dari kawan-kawan sebayanya di kala itu.
Dengan kaki kecilnya, Ekti akan berlari ke ladang. Kerikil tajam dan keringnya tanah sudah menjadi kawan, meski napaknya tidak beralaskan sandal. Diungkapkan Ekti, ia pergi ke ladang untuk makan siang sekaligus membantu kedua orangtuanya. Hal tersebut rutin ia lakukan, meski usai menempuh 4 kilometer berjalan kaki pulang pergi dari sekolah.
Lulus pada 1990, perjalanan Ekti untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP pun tak jauh berbeda. Ia harus menempuh perjalanan 10 km pulang pergi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP yang terletak di Kecamatan Linggang Bigung.
Perjuangan tak berhenti sampai di situ. Kerikil kecil disertai tanah berlumpur kerap membuat sepatu yang dikenakan pria lulusan SD Katolik ini cepat rusak. Alhasil mereka biasanya memilih berjalan dengan telanjang kaki, kemudian mengenakannya setelah mendekati sekolah.
Drum berisi air yang kerap mereka singgahi untuk menumpang membasuh kaki di rumah warga pun menjadi saksi bisu perjuangan anak-anak di kala itu, dalam menempuh pendidikan.
“Tapi, saat itu saya tidak sendiri. Saya melakukan perjalanan bersama teman-teman dan itu menyenangkan,” kenang pria kelahiran 6 Januari 1977 ini.
Tak berhenti sampai di situ, keinginan Ekti dalam menempuh pendidikan ke jenjang selanjutnya juga tidak terbilang mudah. Bermodal nekat, pria Suku Dayak yang kala itu masih berusia 16 tahun ini rela menempuh perjalanan melalui sungai selama sehari semalam untuk ke Ibu Kota Provinsi Kaltim, Samarinda. Melanjutkan pendidikannya di STM Negeri Samarinda.
Terbilang jauh dari rumah, tak punya kawan dan sanak keluarga. Namun kata-kata ibu menjadi cambuk tersendiri bagi pria yang lulus SMP tahun 1993 ini untuk melanjutkan pendidikan.
“Kalau waktu itu saya setop sekolah SMP, jadi tukang senso. Mungkin tidak seperti sekarang. Saya tergiur juga waktu itu (jadi tukang senso). Tapi ibu selalu mengingatkan pentingnya pendidikan,” ujarnya.
Perjalalan Ekti dalam menempuh pendidikan di Samarinda pun layaknya anak rantau lain. Memendam rindu karena harus jauh dari ibu dan sanak keluarga. Untaian kata di surat yang dikirim melalui kapal pun menjadi pembius rindu.
Karena memang saat itu jangankan media sosial, alat komunikasi paling canggih yang digunakan adalah telepon wartel dengan tarif per menit. Hal itupun tidak bisa dilakukan setiap saat, karena terbatasnya alat komunikasi di kampung halamannya.
“Waktu itu jalur transportasi hanya lewat sungai, jadi kami kerap berkirim surat lewat kapal kayu. Kadang keluarga juga mengirim beras. Maklum, jalan darat tidak seperti sekarang, masih hutan belantara. Tapi saya senang, karena kiriman surat dan beras dari rumah bisa sedikit mengobati rindu,” ungkapnya.
Namun, siapa sangka, masa kecil yang jauh dari sentuhan fasilitas dan kata berkecukupan itu membentuk Ekti menjadi seperti sekarang. Layaknya pisau yang kian diasah kian tajam.
Pekerjaan pertama Ekti sebagai karyawan PT Kelian Equatorial Mining (KEM) pada 1996 selepas lulus dari STM itu pun membentuk kepribadian pria muda 18 tahun itu.
Bangun pagi, setiap pukul 07.30 Wita, Ekti sudah harus berada di kantor sampai matahari terbenam. Setelahnya, tiap hari pihak perusahaan menerapkan meeting untuk evaluasi kekurangan pekerjaan di hari sebelumnya.
Moto perusahaan pun terpatri dalam di sanubari Ekti. Agar tidak membuang-buang waktu karena kesempatan tidak akan datang dua kali. Membuat Ekti tidak pernah mau menyia-nyiakan kesempatan di depannya.
“10 tahun saya di PT KEM. Dari karyawan biasa, hingga bisa memiliki jabatan. Saya terbiasa on time dan melakukan evaluasi setiap hari,” terangnya.

Karyawan Pabrik Banting Setir jadi Politisi
Lalu, bagaimana perjalanan pria asli Kutai Barat ini hingga menjadi politisi. Ekti mengungkapkan, usai berdikari satu dekade bersama PT KEM. Melalang buana bersama para pengusaha hingga politisi di daerah hingga provinsi lain, membuatnya tertarik akan dunia yang tak pernah dilakoninya itu. Ajakan pun bermunculan dari kawan politisi untuk bergabung ke partai politik (parpol).
Bukan karena bosan menjadi karyawan. Namun, ia menatap peluang dengan perubahan era orde baru menuju reformasi pada 1999. Tahun itu, pemilihan umum (pemilu) pertama kali terselenggara di Indonesia, termasuk Kutai Barat.
Langkahnya kian mantap saat ia memutuskan aktif sebagai kader partai PDI Perjuangan. Selepas menyandang gelar karyawan di salah satu perusahaan tambang emas terbesar di Kalimantan, yang telah membesarkan namanya itu.
“15 tahun saya di PDI Perjuangan. Selepas itu bergabung ke Gerindra pada 2019 sampai sekarang. Hingga berani ikut kontestasi politik ke DPRD Kaltim melalui partai ini,” ungkapnya.
Dikatakannya, perjalanannya maju sebagai politisi juga hanya bermodal kata “yakin”. Bahkan ia sempat dipandang sebelah mata. Puluhan tahun hanya bergerak sebagai kader partai, kemudian tidak pernah ikut kontestasi di daerah. Namun, ingin melangkahkan kaki ke Gedung Karangpaci, nama lain Kantor DPRD Kaltim, sebagai wakil rakyat.
Kiprahnya puluhan tahun sebagai pengusaha dan aktif di sejumlah organisasi menjadi penyemangat dan dasar yang kuat. Sejak 2004, Ekti sudah aktif di KNPI Kubar. Kemudian, menjadi Ketua Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) Kalimantan Timur dan Ketua Kelompok Kontak Tani Nelayan Indonesia (KTNA) Kutai Barat.
“Saya berpikir, setidaknya saya sudah punya modal (basis pendukung). Saya senang berada di orgnaisasi dan tidak pilih-pilih teman,” kata dia.
Tahun 2019 pun menjadi saksi kontestasi politik pertama yang diikuti oleh Ekti, mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) Kutai Barat dan Mahakam Ulu (Mahulu). Meski berpisah dari PDI Perjuangan dan beralih ke Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Ternyata, intuisinya benar. Masyarakat Kutai Barat mempercayakan aspirasinya di pundak Ekti. Ia menjadi salah satu politisi yang berhasil menembus gerbang Karangpaci, yang pada waktu itu mayoritas ditunggangi oleh kader dari PDI Perjuangan. Bahkan, kembali terpilih sebagai anggota dewan pada Pilkada 2024 dengan perolehan 17.697 suara.

Program “Infrastruktur” jadi Fokus Ekti Imanuel
Kini, sudah periode kedua Ekti berada di DPRD Kaltim, sejak 2019. Hari-hari dilaluinya dengan berjibaku memperjuangkan program-program untuk masyarakat, khususnya dapil Kutai Barat dan Mahulu.
Hal yang menjadi catatan penting baginya, berkenaan infrastruktur jalan di kedua daerah tersebut. Ia menyampaikan, meski jalan darat sudah tembus namun masih banyak yang kondisinya belum maksimal. Jalan rigit beton masih di kisaran 60-70 persen.
Sisanya jalan tanah berbatu. Terkadang kubangan lumpur tak terhindarkan saat intensitas hujan meninggi, yang kerap menjadi kendala masyarakat Kubar menuju daerah-daerah sekitar, termasuk Samarinda, Ibu Kota Provinsi Kaltim. Di mana akses bisa mencapai 8-10 jam perjalanan darat. Sementara jalur air, bisa menggunakan kapal kayu dengan jarak tempuh sehari semalam.
“Untuk Kubar dan Mahulu, saya fokus infrastruktur jalan karena masih banyak kurangnya,” ucapnya.
Kendati sudah duduk sebagai anggota dewan, Ekti tidak memungkiri, adanya sejumlah kendala dalam perjalanannya membawa program-program untuk masyarakat Kubar. Bukannya tidak ada sama sekali.
Tabrakan kepentingan setiap anggota dewan dan fraksi lainnya membuatnya tidak bisa maksimal dalam memperjuangkan anggaran. Belum lagi tabrakan aspirasi yang ia bawa dengan sejumlah pembangunan prioritas lain di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim. Membuat program perbaikan jalan di Kubar dan Mahulu seolah terlihat jalan di tempat.
“Seperti perbaikan jalan Kubar ke Mahulu, yang sifatnya non status. Artinya, semua anggaran bisa masuk, dari APBD, APBN, sampai swasta. Kami terus mendorong setiap tahun, secara kontinue progresnya bagus. Hanya saja, secara anggaran belum maksimal,” ujarnya.
Tak hanya dalam bidang infrastruktur, Ekti memastikan menaruh perhatian dalam sektor lain, dari pertanian, perkebunan, dan pembanguan sumber daya manusia (SDM), termasuk beasiswa. Karena ia tidak memungkiri, ada sedikit kesulitan dalam membawa program beasiswa untuk masyarakat di daerah, termasuk Kutai Barat, tanah kelahirannya.
Padahal, dikatakannya, sangat banyak masyarakat di daerah yang juga memerlukan bantuan pendidikan, karena termasuk daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Kawasan ini merupakan kawasan yang jauh dari ibu kota provinsi dan jarang mendapatkan sentuhan program pemerintah.
Oleh karena itu, ia berharap, dengan masih berkiprahnya dirinya dalam dunia politik, terlebih saat ini sebagai wakil ketua DPRD Kaltim, dapat membawa perubahan yang lebih signifikan bagi pembangunan masyarakat Kaltim. Utamanya pembangunan untuk Kutai Barat dan Mahulu.
“Saya juga berharap masyarakat Kaltim, khususnya Kubar dan Mahulu, untuk selalu mendoakan, agar saya selalu konsisten memperjuangkan pembangunan di daerah,” tuturnya. (*)
Penulis: Devi Nila Sari
Editor: Dirhanuddin