Praktisi pendidikan Kaltim bersurat ke Kemendikdasmen untuk menyampaikan kritisi atas sistem zonasi PPDB dan penghapusan UN.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Sejak diberlakukan pada tahun 2017, sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) terus menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Meski kebijakan ini awalnya dirancang untuk meningkatkan pemerataan akses pendidikan serta menghapus stigma sekolah favorit.
Namun, dalam pelaksanaannya, sistem ini masih menghadapi berbagai kendala yang menimbulkan pro dan kontra di berbagai daerah.
Praktisi Pendidikan Kaltim, Kris Suhariyatno mengatakan, dirinya sebenarnya tidak setuju dengan adanya sistem zonasi ini.
“Saya prihatin sejak awal diberlakukannya sistem zonasi pada tahun ajaran 2017/2018,” ungkapnya.
Kris mengkritik pelaksanaan PPDB jalur zonasi yang dinilai menimbulkan masalah mendasar, seperti belum meratanya infrastruktur sekolah dan sebaran sekolah yang tidak merata.
“Masalah utama dari PPDB zonasi adalah ketidakmerataan infrastruktur sekolah dan sebaran sekolah yang tidak merata, terutama di wilayah desa dan kecamatan,” sebut Kris.
Penghapusan UN Dianggap Tidak Sejalan dengan Kondisi di Lapangan
Selain pemberlakuan sistem zonasi pada pelaksanaan PPDB, Kris Suhariyatno juga menyoroti kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN). Menurutnya, kebijakan tersebut tidak sejalan dengan peraturan dan kondisi real di lapangan. Untuk itu, Kris Suhariyatno menyampaikan surat resmi yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen).
“Kebetulan, pak mendikdasmen menyampaikan bahwa beliau ingin menjadi menteri yang banyak mendengar masukan dari berbagai pihak, agar tidak membuat keputusan yang keliru. Oleh karena itu, saya menulis dan mengirimkan surat tersebut dengan penuh rasa hormat,” ungkapnya.
Dalam suratnya, Kris menyebut peniadaan UN dan pelaksanaan PPDB jalur zonasi adalah kebijakan yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 hingga surat itu dibuat, PP tersebut tidak dicabut dan masih berlaku, pada Pasal 82 ayat 4.
“Yang mengamanatkan seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas sepuluh pada satuan pendidikan menengah didasarkan pada hasil UN. Kecuali bagi peserta didik sebagaimana dimaksud pada pasal 81 ayat 2 dan ayat 5,” tulis Kris dalam suratnya.
Kris juga menyoroti kritik terhadap UN yang dianggap memerlukan biaya besar dan berpotensi menimbulkan kecurangan. Namun, ia menegaskan, masalah tersebut telah diatasi dengan pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang mulai dirintis pada 2015.
“Di mana pada tahun 2015 lalu pelaksanaan UNBK diikuti oleh sebanyak 556 sekolah, dan tahun 2018 hampir seluruh Indonesia melaksanakan ujian berbasis komputer ini. Ini membantah adanya pernyataan bahwa UN itu rawan kecurangan,” pungkasnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Devi Nila Sari