Kaltim menaikkan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi Rp17.000 per anak. Namun, apakah angka tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak di daerah terpencil dengan tantangan logistik yang tinggi?
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Kendala geografis menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di daerah-daerah terpencil. Di wilayah seperti Kalimantan Timur (Kaltim), distribusi makanan memerlukan biaya logistik yang tinggi.
Sebelumnya, anggaran pemerintah sebesar Rp10.000 per anak per hari menimbulkan pro dan kontra. Banyak pihak mempertanyakan apakah jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak.
Pakar Gizi Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman, Jamil Anshory, menyatakan bahwa alokasi anggaran perlu disesuaikan dengan kondisi pasar di setiap wilayah. Harga pangan di daerah terpencil yang cenderung lebih mahal dibandingkan di perkotaan menjadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan.
“Manajemen penyediaan makanan sangat memengaruhi harga. Namun, untuk menilai kecukupan Rp10.000, kita perlu melihat komposisi bahan makanan, jenis, jumlah, dan cara penyajiannya,” ujar Jamil.
Untuk wilayah Kaltim, alokasi anggaran telah dinaikkan menjadi Rp17.000 per anak per hari. Langkah ini diharapkan dapat mengatasi tantangan logistik dan geografis yang kompleks.
“Di Samarinda, anggaran ini mungkin mencukupi. Namun, di daerah lain dengan biaya logistik tinggi, pelaksanaan program menjadi lebih sulit,” tambahnya.
Meski demikian, Jamil menekankan pentingnya skrining awal yang akurat untuk menentukan anak-anak yang benar-benar membutuhkan program ini, agar program tepat sasaran.
Kebutuhan Gizi yang Beragam
Jamil menjelaskan bahwa kebutuhan gizi anak bervariasi sesuai usia. Anak usia 4–6 tahun, misalnya, memerlukan sekitar 1.400 kilokalori per hari, sedangkan anak usia SMA membutuhkan hingga 2.650 kilokalori.
“Jika anggaran tidak mencukupi, risiko ketidakcukupan gizi pada anak meningkat,” jelas Jamil.
Masalah lain yang muncul adalah ketidaktepatan jadwal pemberian makanan. Misalnya, untuk anak PAUD dan TK, makanan direncanakan dibagikan pukul 08.00, tetapi sering kali baru diterima pukul 09.30. Kondisi ini mengganggu pola makan anak, yang seharusnya sarapan di rumah.
“Bagi anak SMA, makanan dijadwalkan diberikan pukul 12.00 siang, tetapi jadwal ini juga tidak selalu konsisten,” imbuhnya.
Edukasi Pola Makan Sehat
Ketua Tim Nutrition Education Centre (Nutrecent) FKM Universitas Mulawarman, Ratih Wirapuspita Wisnuwardani, menyoroti pentingnya edukasi pola makan dalam program MBG. Makanan yang disajikan harus sesuai dengan panduan “Isi Piringku,” yang mencakup karbohidrat, protein, lemak, sayur, buah, dan minuman.
“Program ini tidak hanya bertujuan memberikan asupan gizi, tetapi juga mengajarkan anak-anak pentingnya makanan sehat,” ungkap Ratih.
Salah satu solusi yang disarankan adalah memasak makanan langsung di lokasi, melibatkan kantin sekolah atau masyarakat setempat. Hal ini dapat mengurangi biaya logistik sekaligus mendorong keterlibatan masyarakat.
“Selain memenuhi kebutuhan gizi, program ini juga menjadi sarana edukasi. Anak-anak belajar tentang makanan sehat, sementara orang tua dan masyarakat diajak berkontribusi dalam mendukung program,” ujar Ratih. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id