Politik, demikian jalan yang diputuskan sosok perempuan muda bernama Shela Angraini Sadewi Mahyudin, untuk mengobati keresahannya akan berbagai persoalan pembangunan di Kaltim. Dari persoalan infrastruktur, pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Muda dengan latar belakang bisnismen. Sedianya sudah lebih dari cukup bagi Shela Angraini Sadewi Mahyudin jika ingin menikmati hidup. Dengan uang yang ia hasilkan dari sejumlah bisnisnya. Pun telah cukup untuk dia bisa membeli apapun yang ia inginkan.
Namun darah politik yang begitu kental dalam dirinya seakan sulit ia elakan. Ditambah dengan keresahan besarnya terhadap berbagai persoalan pembangunan di Kaltim. Telah mendorong darah politik dari sang ayah, Mahyudin, kian menggalir dengan derasnya.
Wanita kelahiran Banjarmasin, 8 Mei 1993, itu mengambil langkah dan keputusan besar untuk terjun secara langsung di dunia politik. Ia memutuskan maju sebagai calon anggota DPR RI pada Pemilu 2024 ini. Shela akan bertarung di Daerah Pemilihan (Dapil) Kaltim melalui perahu Partai PAN dengan nomor urut 2.
Lalu apa yang melatarbelakangi keputusan ibu satu anak ini hingga memutuskan maju sebagai calon anggota legislatif? Berikut petikan wawancara perempuan yang karib disapa Shela ini dengan media Akurasi.id!
Bagaimana awal mulanya sehingga Anda memutuskan terjun ke politik?
Awalnya berangkat dari keresahan. Walau semula enggak ada niatan ke politik. Terutama bapak, tidak merekomendasikan anak-anaknya terjun ke politik. Kami diarahkan untuk berbisnis. Setelah lulus kuliah dari Melbourne University, Australia, saya kembali ke Kutim dan membuka usaha. Selama di Kutim, saya sering mendapatkan keluh kesah yang tidak nyaman dari masyarakat. Salah satunya berkenaan dengan persoalan infrastruktur jalan.
Beberapa kali saya sudah mencoba meresponsnya melalui postingan di media sosial. Saya coba tag bupati dan wakil bupati terkait jalan yang rusak (Jalan Poros Kabo, Swarga Bara, red). Selain jalan rusak, penerangan juga tidak ada. Akibatnya, sangat rawan kecelakaan. Salah satu karyawan saya bahkan ada yang jadi korbannya.
Saya sudah coba speak up di media sosial, ternyata tidak ada respons. Tidak ada tindakan. Dari sini saya berpikir, kayaknya harus terjun langsung membantu menyelesaikan masalahnya. Kalau hanya lewat media sosial atau cuap-cuap (berceloteh), kayaknya tidak ada dampak yang besar.
Apa upaya yang coba Anda lakukan untuk membantu masalah tersebut?
Waktu itu, saya berpikiran untuk mencoba menghubungi bapak saya, Bapak Mahyudin (menjabat Wakil Ketua DPD RI). Saya bilang ke beliau, ini jalan yang rusak bisa enggak ya dibantu diperbaiki. Kasihan masyarakat. Kebetulan jalan banyak dilalui kendaraan perusahaan. Barangkali bisa menyuarakan ke perusahaan lewat dana corporate social responsibility (CSR) agar dibantu diperbaiki.
Hanya dalam satu minggu setelah saya meminta tolong, jalannya langsung diperbaiki dan hingga sekarang sudah lumayan aman dilintasi masyarakat. Dari situ saya berpikir, tergantung siapa yang memiliki kewenangan atau memimpin. Kalau pemimpin itu serius, maka persoalan pembangunan bisa diselesaikan.
Di sisi lain, Pak Mahyudin, pada pemilihan legislatif (pileg) 2024 ini sudah tidak maju mencalonkan diri. Saya berpikir, kalau tempat keluh kesah saya sudah tidak ada lagi, maka kepada siapa saya menyampaikan masalah. Mau tidak mau, saya memutuskan terjun ke dunia polik. Agar memiliki kewenangan dalam membantu masyarakat.
Selain itu, masalah apa lagi yang mendorong Anda sehingga membulatkan tekad untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI?
Dari aspek anak muda, mulai ditingkat pusat hingga daerah, belakangan selalu menggaungkan bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045. Pertanyaannya, bagaimana cara mencapai itu?
Saya sendiri memandang, jika sektor pendidikan harus didorong secara masif peningkatannya. Mengapa demikian? Saya memiliki pengalaman pendidikan yang berbeda-beda. Jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP) saya di Sangatta, Kutai Timur.
Ketika di bangku SMP, alhamdulillah, saya termasuk siswi berprestasi. Aktif dalam berbagai bidang ekstrakurikuler. Saat kelas 2 SMP, saya pindah ke Jakarta. Dari sini, nilai saya mendadak jeblok total. Ternyata kurikulum yang diajarkan berbeda. Ada gap (celah) yang besar. Ketika itu, saya bahkan terancam tidak naik kelas. Untuk mengejar ketertinggala, saya pun harus les privat setiap hari setelah pulang sekolah hingga jam 10 malam.
Memasuki jenjang SMA, alhamdulillah saya terbilang berprestasi. Alhamdulillah, saya bahkan sampai dipercaya ikut Olimpiade Matematika Internasional. Namun saat itu saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Ketika itu saya memutuskan mengikuti studi banding ke Amerika Serikat.
Tantangan lainnya, ketika saya pindah untuk melanjutkan kuliah ke Australia, Melbourne, ternyata kurikulumnya berbeda lagi. Saya tidak bisa langsung ambil sarjana, melainkan harus ambil diploma dulu. Diploma ini, seperti mengulang pembelajaran SMA di Australia selama 1 tahun. Setelah itu baru bisa melanjutkan ke sarjana selama 2 tahun.
Artinya, kualitas pendidikan kita di setiap daerah berbeda-beda. Saya melihat ini penting untuk menyamaratakannya.
Saya terjun sebagai calon anggota DPR RI ini, adalah untuk memperjuangkan hal itu. Secara khususnya, saya ingin memperjuangkan pendidikan di Kaltim. Saya ingin, Kaltim memiliki daya saing yang imbang dengan daerah lain di Indonesia. Kualitas pendidikan di Kaltim harus ditingkatkan, supaya memiliki daya saing di masa depan.
Ditambah dengan Kaltim ditunjuk sebagai pusat pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Artinya, jangan sampai masyarakat Kaltim hanya jadi penonton di rumah sendiri. Jangan sampai pemuda Kaltim kalah saing dengan anak muda dari daerah lain. (bersambung)
Penulis: Dirhanuddin
Editor: Dirhanuddin