Wisata Sawah Ini Lagi Ramai Diburu, Tapi Jalannya Bikin Pengunjung Mengeluh

Fajri
By
5 Min Read
Foto: Wisata Sawah, Desa Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur. (Dok.Akurasi.id)

Oleh: Siti Rosidah More/Akurasi.id
Wisata Sawah, Desa Teluk Pandan, Kutai Timur, Jumat (18/07/2025)

Di atas hamparan padi yang berusia tiga bulan, angin sore datang seperti kabar baik yang lama ditunggu. Ia menyisir ujung-ujung daun, menggesek batang muda yang mulai menguning, dan membisikkan irama yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mau diam.

Langit membiru pucat. Di balik awan yang bergerak lamban, matahari perlahan turun, memandikan sawah dengan cahaya emas yang temaram. Dari kejauhan, suara burung gereja terdengar riuh, saling bersahutan. Sementara itu, kelelawar-kelelawar kecil mulai terbang rendah, menyilang di antara tiang-tiang bambu tempat kantong plastik digantung untuk mengusir hama.

Saya berdiri di atas jembatan kayu warna-warni yang membelah sawah. Di kanan kiri, padi tumbuh rapat, seolah saling memeluk. Di antara barisan itu, berdiri 14 gazebo beratap merah tua, dibangun dari kayu ulin—kayu kuat warisan hutan Kalimantan. Di sanalah pengunjung duduk, memandang langit, menyesap kopi, atau membiarkan waktu berlalu tanpa tergesa.

Nita (32) datang bersama suaminya dan seorang anak kecil yang sibuk menerbangkan layangan. Mereka menempuh perjalanan 15 kilometer dari Bontang. Jalan yang berlubang, bergelombang, bahkan sedikit amblas tak menyurutkan niat mereka.

“Awalnya lihat di TikTok,” ujarnya sambil tersenyum. “Tapi begitu sampai sini, ternyata pemandangannya bahkan lebih indah dari di layar,” katanya lagi.

Sawah ini, dengan total luas sekitar 36.741 meter persegi, hanya sebagian kecilnya yang dibuka untuk wisata—sekitar 7.000 meter persegi. Tapi di bentang kecil itulah banyak orang merasa pulang. Jembatan, gazebo, dan gemerisik angin menjadi alasan untuk berhenti sejenak dari riuh kota.

Di sisi lain, Ibu Surya (50) dari Kelurahan Guntung, Bontang Utara tampak duduk di salah satu gazebo bersama dua kawannya. Ia mengelus pundaknya sendiri, sembari menceritakan perjalanan mereka yang cukup menantang. “Jalan ke sini susah. Apalagi jalan poros Bontang-Sangatta, banyak lubang,” katanya. “Tapi kami senang. Sawahnya cantik.”

Saya kemudian berbincang dengan Burhan, Ketua Pokdarwis Desa Teluk Pandan. Lelaki berkulit legam dan mata yang tajam tapi ramah itu mengamati sawah dengan raut bangga.

“Rencana ini dari 2023,” ujarnya. “Kami baru bisa bangun tahun ini. Sekarang, alhamdulillah, tiap hari ada ratusan yang datang.”

Burhan dan warga desa tak hanya membangun tempat wisata. Mereka membangun harapan. Dari kayu ulin, papan warna-warni, dan semangat gotong royong, desa ini membentuk ruang temu—antara kota dan kampung, antara orang dewasa dan kenangan masa kecil.

“Rencananya nanti ada panggung terbuka di sini. Bisa buat pertunjukan budaya,” lanjut Burhan. “Teluk Pandan ini punya cerita sendiri, dan kami ingin itu bisa dinikmati orang luar.”

Cerita dari wisata sawah ini bukan hanya soal pemandangan. Di balik gemerlap senja dan jembatan selfie, ada denyut ekonomi yang mulai tumbuh.

Fitriani (25), salah satu pelaku UMKM di kawasan wisata, merasakan langsung dampaknya. Sejak kawasan itu dibuka secara resmi pada Juni lalu, lapaknya tak pernah sepi pembeli—terutama dari Bontang.

“Memang ramai pengunjung di sini. Apalagi sejak libur sekolah. Pengunjung makin membludak tiap harinya,” ujarnya.

Dengan biaya masuk yang masih gratis, banyak pengunjung menjadikan Wisata Sawah Teluk Pandan sebagai pilihan utama. Fitri mengaku omzet hariannya meningkat drastis.

“Kalau libur sekolah begini, Alhamdulillah makin banyak pembelinya. Keuntungan saya bisa menyentuh 1,5 hingga 2 juta per harinya,” ungkap Fitri.

Lebih menggembirakan lagi, biaya sewa lapak bagi UMKM hanya Rp150 ribu per bulan. Kepala desa pun memberikan kemudahan tanpa beban tambahan. Hingga kini baru tiga lapak UMKM yang tersedia, tapi Fitri berharap akan lebih banyak lagi yang bisa ikut berdagang.

“Semoga ke depannya terbuka kesempatan buat penjual UMKM lain. Lumayan, selain memajukan wisata, bisa mendorong UMKM warga Teluk Pandan juga,” tambahnya.

Langit makin renta. Bayang padi memanjang di tanah yang lembap. Burung gereja masih berceloteh. Kelelawar makin banyak, melintas cepat seperti detik yang tak bisa diulang.

Di kejauhan, seorang anak kecil berlari-lari membawa layangan yang sayapnya sobek, tapi tetap ia pertahankan. Seperti banyak hal dalam hidup, yang tak harus sempurna untuk membuat seseorang bahagia.

Dan ketika senja benar-benar datang, sawah menjadi kitab yang terbuka. Seolah, setiap batang padi menuliskan syairnya sendiri. Di sinilah waktu melambat, suara menjadi gema, dan hidup terasa cukup hanya dengan melihat langit yang pelan-pelan menggelap.

Saya menoleh ke belakang. Gazebo mulai kosong. Lampu-lampu kecil dinyalakan. Sawah perlahan ditelan gelap. Tapi bagi mereka yang pernah datang ke sini, kenangan akan tetap tinggal—seperti harum batang padi yang tak lekang. (*)

Penulis: Siti Rosidah More
Editor: Redaksi Akurasi.id

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *