Mengenali Gejala Awal Korban Kekerasan Seksual

Fajri
By
7 Views
Ilustrasi. (Ist)

Orangtua perlu mengenali tanda-tanda anak yang mengalami kekerasan seksual agar dapat segera memberikan pertolongan, perawatan, dan pendampingan kepada korban.

Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan masih sering terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, para korban kebanyakan tidak berani melapor dan terpaksa tetap diam dengan berbagai pertimbangan. Stigma sosial pun seringkali membuat korban enggan untuk melibatkan diri dalam proses hukum.

Karena itu, orangtua perlu mengenali tanda-tanda anak yang mengalami kekerasan seksual agar dapat segera memberikan pertolongan, perawatan, dan pendampingan kepada korban. Sebenarnya, untuk penanganan kasus kekerasan seksual, pemerintah telah menerapkan Undang-Undang Tindak Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Akan tetapi, kasus kekerasan seksual masih terus saja terjadi.

Ketua Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Himpsi Katim, Ayunda Ramadhani mengatakan, terkait dampak kekerasan seksual, penting untuk memahami bahwa gejala dan reaksi yang muncul bisa bervariasi pada setiap individu. Terutama pada awal kejadian, tanda-tanda awal dapat sangat jelas, seperti kesulitan tidur, mimpi buruk, dan kecemasan yang berlebihan.

“Pada anak-anak, perubahan perilaku seperti rewel, mudah menangis, atau ketakutan terhadap orang asing dapat menjadi petunjuk awal,” kata Ayunda sapaan akrabnya, belum lama ini.

Mengenali Gejala Awal Korban Kekerasan Seksual
Ketua Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Himpsi Katim, Ayunda Ramadhani. (Dok. Pribadi)

Ayunda menjelaskan, secara psikologis, korban seringkali menunjukkan keengganan untuk keluar dari rumah, terutama jika pelaku berada di lingkungan sekolah. Perubahan drastis dalam kebiasaan seperti sulit tidur, hilangnya nafsu makan, dan gejala-gejala lainnya bisa menjadi sinyal adanya trauma.

“Kalau pada anak-anak dia mengompol atau mengeluh kesakitan di bagian vital. Sedangkan orang dewasa biasanya ya memang dia jadi lebih menarik diri, murung mudah menangis, bahkan mungkin mudah marah,” ungkap Ayunda.

Ia menekankan, penting untuk memahami bahwa dampak kekerasan seksual tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga melibatkan aspek psikologis yang mendalam. Terlebih lagi, dampak ini dapat berkembang menjadi Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan lainnya, seperti gangguan kecemasan.

“Oleh karena itu, penanganan kasus harus dilakukan secara urgensi dan profesioanal untuk mencegah dampak yang lebih parah,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, proses diagnosa dan penanganan pada korban antara orang dewasa dan anak-anak memiliki perbedaan pendekatan. Pada orang dewasa, pendekatan lebih langsung dengan bertanya kronologis dapat diterapkan, sementara pada anak-anak, metode bermain dan penggunaan media seperti boneka dapat membantu mereka lebih nyaman dalam berbicara tentang pengalaman traumatis mereka.

“Namun, yang perlu ditekankan adalah bahwa penanganan pada kasus ini tidak hanya menjadi tanggung jawab ahli kesehatan mental, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif masyarakat,” imbuhnya. (*)

Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Fajri Sunaryo

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *