
Koalisi Masyarakat Kaltim melalui Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Pradarma Rupang sebut pengesahan RUU IKN ugal-ugalan.
Akurasi.id, Samarinda – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu kota Negara (IKN) pada Selasa (18/1/2022) hingga pemindahannya ke Kaltim hingga kini masih menuai pro dan kontra. Sebab, banyak pihak menilai pengesahannya dilakukan terburu-buru dan mengabaikan aspirasi masyarakat, terutama masyarakat Kaltim.
Sejak awal pembentukan panitia khusus (pansus) RUU IKN, hanya memerlukan waktu kurang lebih 40 hari melakukan pembahasan hingga disahkan menjadi UU IKN. Hal ini pun menyebabkan Koalisi Masyarakat Kaltim dengan narahubungnya Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Pradarma Rupang tak tinggal diam, selalu angkat suara persoalan-persoalan yang dilewatkan pemerintah.
Sebelum diundangkan, kata Pradarma, RUU IKN dinilai cacat prosedural dan dianggap sebagai bentuk dari ancaman keselamatan ruang hidup rakyat maupun satwa langka yang berada di Kalimantan Timur, terutama yang terdampak dengan adanya proyek IKN yaitu Kabupaten Penajam, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan.
“Megaproyek IKN sendiri berpotensi akan menggusur lahan-lahan masyarakat adat, terutama masyarakat adat Suku Balik dan suki Paser serta warga Transmigran yang sudah lama menghuni di dalam kawasan 256 ribu hektare,” kata dia.
Salah satu alasan atas pemindahan Ibu Kota, lanjutnya, berangkat dari semakin meningkat dan kompleksnya permasalahan di DKI Jakarta. DKI Jakarta dinilai tidak layak dari aspek daya dukung dan daya tampung.
“Oleh karena itu, dengan pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, merupakan gambaran tidak becusnya pemerintah dalam menangani dan menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di Jakarta,” ujarnya.
[irp]
Penggodokan RUU IKN Minim Partisipasi Publik dan Cacat Prosedural
RUU IKN juga disebut Pradarma minim dari partisipasi publik. Padahal, lanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menyebut bahwa setiap undang-undang wajib ada partisipasi dari publik. Penetapan pemindahan Ibu kota ke Kalimantan Timur disebutnya sebagai keputusan politik tanpa dasar yang jelas, tidak partisipatif, dan tidak transparan.
“Cacat prosedural dalam penyusunan KLHS kembali dilakukan dalam pembuatan RUU IKN. Dimana sebelumnya dilakukan secara tertutup, terbatas, dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak langsung dari pemindahan Ibu kota,” katanya.
“Masyarakat di wilayah lain yang juga akan terdampak dalam megaproyek ini seperti ribuan ASN Pemerintah Pusat di Jakarta dan sekitarnya, warga di Sulawesi Tengah, serta 2 kampung masyarakat adat yang hidup disepanjang sungai kayan akan ditenggelamkan beserta 5 Kampung yang juga digusur paksa untuk pembangunan Dam kecil pendukung PLTA Kaltara. Hal tersebut demi memasok listrik bagi situs perkantoran di ibu kota baru,” sambungnya.
Dilanjutkan Pradarma, lahan IKN yang akan dibangun tidak lain merupakan lahan-lahan perusahaan sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri). Bahkan dia menyebut tambang tersebut milik dari para oligarki-oligarki yang dengan sengaja merusak hutan dan lahan.
“Di samping itu, pemindahan IKN juga merupakan agenda terselubung pemerintah guna menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh beberapa korporasi yang wilayah konsesinya masuk dalam wilayah IKN,” bebernya.
Menurut catatan Jatam Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN di mana tanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan pasca-tambang seharusnya dilakukan oleh korporasi, diambil alih dan menjadi tanggung jawab negara.
[irp]
Pemerintah Disebut Tak Peka Terhadap Permasalahan Rakyat
Kata Pradarma, RUU IKN disosialisasikan secara tertutup, termasuk pada saat kegiatan konsultasi publik RUU IKN yang diadakan di salah satu kampus terbesar di Kalimantan Timur, Universitas Mulawarman, Samarinda (11/1/2022) lalu. Yang mendapat tentangan dan penolakan dari Koalisi Kaum Muda Kaltim Anti Oligarki.
Koalisi menyerukan aksi boikot dan menolak pembahasan RUU IKN yang diadakan di UNMUL. Koalisi menilai, bahwa konsultasi publik yang dilakukan oleh DPR RI dan BAPPENAS itu sangat tertutup, cenderung dipaksakan, serta tidak melibatkan masyarakat, terutama warga di kawasan rencana mega-proyek IKN.
Sikap pemerintah yang memaksakan pemindahan Ibu kota juga disebut mereka mencerminkan tidak sensitifnya pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin terhadap kondisi masyarakat yang tengah sulit setelah hampir 2 tahun dilanda pandemi Covid-19 di mana banyak warga yang mengalami penurunan ekonomi.
Dana yang digunakan untuk mewujudkan pemindahan IKN, kata mereka, akan sangat lebih berguna apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara (kesehatan, pendidikan, dll) yang sedang mengalami kesulitan.
Berdasarkan uraian di atas, koalisi masyarakat Kaltim menolak IKN dipindahkan. Sebab, kata dia, rencana pemindahan IKN sama sekali tidak memiliki dasar kajian kelayakan yang meliputi aspek kemaslahatan, keselamatan, dan kedaulatan umat (manusia, dan non manusia) dan cenderung dipaksakan sehingga berpotensi mengancam, menghancurkan dan menghilangkan ruang hidup masyarakat.
“Mendesak kepada pemerintah untuk mencabut dan membatalkan UU IKN karena cacat prosedural dan tidak menjawab persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Sekaligus mendesak pemerintah menyelesaikan permasalahan krisis yang terjadi di Jakarta dan Kalimantan Timur, Bukan Pemindahan Ibu Kota Baru,” tegasnya. (*)
Penulis: Devi Nila Sari
Editor: Redaksi Akurasi.id