Terjebak dalam penantian panjang, sepasang suami istri ini harus tidur beralas plastik di Pelabuhan Loktuan selama dua pekan. Rindu kampung halaman membara, tetapi kapal yang dinanti tak kunjung datang.
Kaltim.akurasi.id, Bontang – Pelabuhan Loktuan tampak ramai dengan penumpang yang menanti keberangkatan kapal, termasuk mereka yang akan menuju Pulau Pare-Pare menggunakan kapal Enggon, Selasa (25/03/2025).
Namun, kisah berbeda dialami sepasang suami istri, Jamaludin (60) dan Maidah (49), warga asal Labuan Bajo. Mereka harus menunggu selama dua minggu di pelabuhan demi keberangkatan KM Binaiya, kapal yang akan membawa mereka pulang setelah 12 tahun merantau sebagai buruh pengambil buah sawit di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Selain harus bersabar menanti keberangkatan, pasangan ini juga harus menghadapi perjalanan panjang di atas laut. Kapal yang mereka tumpangi pada 8 April 2025 nanti akan melewati Awerange, Makassar, Batulicin, Surabaya, kembali ke Makassar, dan akhirnya tiba di Labuan Bajo.
Minim Informasi, Terpaksa Menunggu Dua Minggu
Jamaludin mengaku tidak memiliki ponsel pintar dan tidak bisa mengoperasikannya, sehingga ia hanya mengandalkan informasi dari tetangga mengenai jadwal kapal. Akibatnya, mereka berangkat ke Pelabuhan Loktuan tanpa mengetahui pasti jadwal keberangkatan KM Binaiya.
Demi bisa pulang kampung, mereka berangkat pada Minggu, 23 Maret 2025, menggunakan travel dengan biaya sekitar Rp4 juta dari Nunukan menuju Bontang.
“Dari tetangga dan orang-orang saya dapat informasi kalau kapal Binaiya yang ke Bajo. Saya naik travel bersama istri. Senin kemarin, 24 Maret, kami sampai di Bontang,” ujar Jamaludin.
Namun, sesampainya di Bontang, mereka baru mengetahui bahwa kapal yang mereka tunggu baru saja berangkat ke Labuan Bajo pada 19 Maret dan baru akan berlayar kembali pada 8 April.
Meski harus menunggu dua minggu, mereka memilih bertahan di pelabuhan demi menghemat pengeluaran.
Tidur Beralas Plastik, Berlebaran di Pelabuhan
Selama menunggu, mereka berencana tidur di area Pelabuhan Loktuan dengan alas plastik tipis dan berbantal tas sebagai tempat beristirahat.
Keputusan ini mereka ambil karena keterbatasan biaya, mengingat gaji Jamaludin sebagai buruh sawit hanya Rp3,6 juta per bulan.
“Kami berdua pastinya bakal berlebaran di sini, Nak, menunggu kapal itu berangkat. Rencananya, kami akan menginap di pelabuhan sampai 8 April nanti,” ucapnya.
Jamaludin memilih bertahan karena kembali ke Nunukan hanya akan menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya. Selain itu, ini juga merupakan tahun terakhirnya bekerja sebagai buruh sawit. Cita-citanya kini hanya ingin segera bertemu dua anak dan dua cucunya.
“12 tahun kerja, pengen ketemu dua cucu saya. Nggak apa-apa kalau harus nunggu selama dua minggu,” tuturnya. (*)
Penulis: Dwi Kurniawan Nugroho
Editor: Redaksi Akurasi.id