Produksi yang kurang, menjadi salah satu penyebab mahalnya harga beras. Pj Gubernur Kaltim Akmal Malik pun sarankan nasi kuning diganti singkong.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Beras menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Sayangnya, saat ini komoditi tersebut sedang mengalami kenaikan harga. Produksi yang kurang, menjadi salah satu penyebab mahalnya harga beras.
Untuk mengatasi ini, pemerintah pun terus melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan diversifikasi pangan. Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Akmal Malik pun sempat mengusulkan nasi kuning diganti singkong.
“Sebaiknya kita jangan tergantung dengan beras. Walaupun nasi kuning makanan khas Samarinda dari beras, tapi ke depan bisa terbuat dari singkong. Atau soto banjar, tidak lagi dengan nasi tapi singkong,” papar Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Akmal Malik di Ruang VVIP Rumah Jabatan Kantor Gubernur, Selasa (27/2/2024).
Kata Akmal, diversifikasi ini penting untuk dijadikan pertimbangan. Mengingat jumlah penduduk di Benua Etam yang semakin hari terus bertambah.
Meski begitu, Akmal menyebut kebutuhan beras di Kaltim sebenarnya masih bisa dipenuhi. Hal ini ia ketahui setelah melakukan sidak ke bulog dan Pasar Klandasan di Balikpapan beberapa waktu lalu.
Dari sana, ia mendapat informasi, untuk beras CPP masih mudah didapatkan bahkan dengan harga terjangkau, yakni berkisar di angka Rp57 ribu untuk satu karung 5 kilogram. Namun memang, yang susah dicari adalah beras dari Pulau Jawa dengan kelas tertentu atau premium.
Sebelum itu, ada beberapa langkah yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah pangan di Benua Etam. Misalnya perbaikan irigasi bagi seluruh sawah yang ada di Kaltim. Hal ini justru telah dilakukan oleh TNI, dengan menyebar 89 ribu titik pompa air di kawasan Kukar. Ke depan akan dilakukan di Penajam Paser Utara (PPU) dan Paser.
Masalah air pun menjadi penting. Karena jumlah petani yang merubah sawahnya menjadi lahan kebun kelapa sawit meningkat tinggi. Namun, pemerintah provinsi tidak dapat melarang.
“Itu bukan sawit perusahaan tapi personal, kita enggak mungkin melarang mereka yang menanam sawit. Yang kita lakukan adalah mereka minta agar lahan produktif itu bisa ditanami tanaman palawija sawah mereka butuh air, ” ujar Akmal.
Saat disinggung mengenai keterlibatan politik dalam kenaikan harga beras, Akmal bilang, hal ini tidak bisa disalahkan. Karena memang saat ini merupakan ekor tahun politik. Namun, sebagai seorang birokrat, ia menjawab kenaikan ini disebabkan karena kondisi kekeringan yang cukup panjang sehingga angka produksi beras berkurang.
“Saya enggak mau komentari itu, kalau orang politik silahkan mengatakan. Kalau kami menyebut ada sisi produksi yang harus kita benahi ke depan,” pungkasnya. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Redaksi Akurasi.id