Kabut tipis turun perlahan di atas persawahan Embalut, menyusup di antara batang padi yang baru setinggi lutut. Di tepi pematang, seorang lelaki tua berdiri sambil menatap hamparan hijau itu dengan mata berkaca. Ia adalah I Nengah, 65 tahun, seorang transmigran dari Bali yang sejak awal hidupnya hanya percaya pada kesetiaan tanah dan air.
Empat dekade silam, awal 1980-an, ia datang ke Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara bersama seorang istri muda dan seorang anak balita. Perjalanan panjang itu ia kenang seperti babak baru hidupnya—tanah rantau yang dijanjikan negara. Satu hektare sawah garapan diberikan kepadanya, dan dari situlah ia mulai menanam harapan.
Namun tahun 1982, ketika PT Kitadin membuka tambangnya, suara mesin bor dan dentuman alat berat mulai merobek kesunyian desa. I Nengah pun ikut terhisap ke dalamnya. Ia bekerja sebagai buruh kasar, mengebor terowongan di perut bumi. Lima tahun lamanya ia menukar keringat dengan upah, dan dari situ ia mampu menyekolahkan anak-anaknya. Kini, dari lima anak yang lahir dan tumbuh di tanah rantau, seorang berhasil menjadi polisi. Kebanggaan tersendiri bagi lelaki desa yang hanya lulusan sekolah rendah itu.
Setelah keluar dari perusahaan, ia kembali lagi ke sawah kecilnya. Hanya sebidang lahan satu hektare, hasilnya pas-pasan, kadang tak cukup untuk menutup kebutuhan keluarga besar. Ia bertahan dengan pasrah, menunggu musim dan kemurahan alam.
Baru setahun setengah terakhir, hidupnya kembali disentuh oleh bekas perusahaan tempat ia dulu menambang. PT Kitadin, yang kini memasuki fase pascatambang, membagi lahan sawah bekas galian kepada warga. I Nengah mendapat setengah hektare. Sawah itu, meski tak seberapa, menjadi tambahan penghasilan.
Baca Juga
“Tapi awalnya susah,” ujarnya pelan, sambil mengelus batang padi yang kering daunnya. “Tanahnya keras, namanya juga tanah bekas tambang. Sebulan lebih saya garap, baru bisa ditanami.”
Kini, di lahan itu tumbuh padi yang siap panen. Gabah dijual dengan harga Rp7.700 hingga Rp8.500 per kilogram. Perusahaan memberi banyak bantuan: pupuk, racun hama, bahkan alat-alat pertanian. I Nengah hanya keluar modal bibit. Ia tergabung dalam kelompok tani Sukamaju. Sedikitnya ada 148 petani lain yang juga menggarap sawah baru di atas bekas luka tambang. Total 74 hektar lahan sawah milik PT Kitadin yang digarap warga sekitar.
Di tengah hamparan hijau itu, I Nengah tersenyum lebar. Dari tanah yang dulunya hanya lubang tambang, kini ia bisa memanen gabah kering hingga 4,8 ton sekali panen, dan sawah itu bisa dipanen tiga kali setahun. “Tidak kalah dengan sawah lama saya,” ujarnya penuh syukur. Hasil itu menyalakan mimpi baru: membeli sebuah mobil pickup, bukan untuk kemewahan, tetapi agar bisa mengangkut hasil panen sendiri ke pasar—sebuah simbol kebebasan dan kemandirian di penghujung usia.
Baca Juga
Kitadin Site Embalut dan Program Pascatambang
Kitadin Site Embalut bukan nama asing bagi warga Tenggarong Seberang. Sejak 1982, anak perusahaan PT Indo Tambangraya Megah (ITMG) itu menggali batubara sub-bituminus dari perut bumi seluas hampir 3.000 hektare. Puluhan tahun mesin berputar, ribuan ton batubara keluar setiap bulan, meninggalkan jejak berupa lubang-lubang besar dan kontur tanah yang tak lagi rata.
Izin usaha produksi perusahaan berakhir pada Februari 2022. Sejak saat itu, Embalut resmi masuk fase pascatambang, artinya tidak ada lagi kegiatan eksploitasi, hanya kewajiban memulihkan lahan, mengembalikan fungsi, dan meninggalkan warisan positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Kata Bonifasius T. Tipa, Kepala Teknik Tambang PT Kitadin Site Embalut, perusahaan menargetkan seluruh pemulihan rampung pada 2027. Hingga semester pertama 2025, progresnya diklaim sudah 86,45 persen. Sebagian lubang ditimbun, sebagian dijadikan kolam, sebagian lagi disulap jadi sawah percobaan. Dari lahan 3 hektare awal, panen pertama menghasilkan 10,5 ton gabah. “Program ini melibatkan kelompok tani desa, agar masyarakat tetap mendapat sumber penghidupan setelah tambang tutup,” katanya kepada Akurasi.id, Selasa (23/09/2025).
Dia juga bilang, selain sawah, PT Kitadin mengembangkan berbagai program lain, seperti peternakan sapi, ayam, kambing, perkebunan jagung dan kebun buah, bahkan hutan pendidikan hingga pariwisata. Bekas void tambang pun dimanfaatkan sebagai sumber air untuk irigasi sawah dan perkebunan, menjadikan bekas lubang tambang bagian dari siklus hidup baru.
“Semua program ini dirancang agar lahan bekas tambang bisa kembali produktif dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar,” ujarnya. Ia menekankan pendekatan berbasis ekonomi, ekologi, dan sosial, di mana warga terlibat langsung dalam pengelolaan.

Pria yang akrab disapa Boni itu menambahkan, pertanian terpadu ini memang bagian dari program pascatambang PT Kitadin. Setelah melakukan public hearing dengan masyarakat, pihak perusahaan menyadari bahwa reklamasi berupa pertanian adalah salah satu yang paling dibutuhkan oleh warga.
Baca Juga
“Kami menyiapkan seluruh modal dan fasilitas untuk tiga kali tanam atau tiga musim berturut-turut. Setelah itu, proses berikutnya dilakukan secara mandiri oleh para petani dari empat desa di sekitar lokasi tambang, dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak mereka,” tambahnya.
Harapan dan Skeptisisme
Bagi sebagian warga, lubang tambang tak selamanya jadi kubangan maut, melainkan bisa ditanami padi. Namun suara lain menyuarakan keraguan.
“Pascatambang di Kaltim seringkali hanya manis di atas kertas,” ujar Merah Johansyah, aktivis JATAM Kaltim, berdasarkan catatan siaran pers JATAM Kaltim 23 September 2025. Ia menambahkan, ratusan lubang tambang di Kaltim gagal direklamasi, bahkan menelan korban jiwa. Dari 2011 hingga 2025, tercatat 49 korban jiwa akibat lubang tambang yang tidak direklamasi, termasuk anak-anak yang jatuh ke bekas lubang tambang.
“Kita tidak bisa hanya menilai dari satu dua hektare sawah yang ditunjukkan ke publik. Harus ada audit independen, harus transparan,” tegasnya. JATAM menilai, penghentian sementara perusahaan tambang sering bersifat administratif dan tidak diikuti tindakan nyata untuk menutup lubang berbahaya, sehingga risiko bagi masyarakat tetap tinggi.
Pertaruhan Warisan
Waktu menuju 2027 terus berjalan. Jika target tercapai, Kitadin Embalut bisa menjadi contoh pascatambang yang berhasil di Kalimantan Timur. Jika gagal, ia hanya akan menambah daftar panjang lubang-lubang tambang terbengkalai yang jadi simbol “warisan hitam” industri ekstraktif.
Di tengah hamparan sawah yang menguning sore itu, I Nengah menghela napas panjang. Dari lubang bekas tambang hingga panen gabah kering, hidupnya menjadi saksi perjalanan sebuah lahan—dari luka menjadi harapan, dari kering menjadi produktif, dan dari mimpi sederhana seorang petani tua menjadi simbol kecil tentang kemungkinan yang tidak pernah padam. (*)
Penulis: Fajri Sunaryo