BBM Langka di PPU memicu aksi protes ratusan sopir truk ke Kantor Pemkab. Mereka menuntut solusi cepat atas krisis BBM yang mengancam penghasilan harian. Pengamat menyebut kinerja Pertamina layak diberi raport merah.
Kaltim.akurasi.id, Penajam Paser Utara – Ratusan sopir truk mendatangi Kantor Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Rabu (6/8/2025), menuntut kejelasan atas kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis bio solar yang telah terjadi sejak 29 Juli 2025.
Kelangkaan ini dinilai sangat mengganggu aktivitas logistik dan pendapatan harian para sopir. Salah satu sopir asal Desa Giri Mukti, Musfar Efendi, mengaku telah menanyakan langsung ke pengelola SPBU Kilometer 9 Penajam. Namun hingga kini, belum ada jawaban pasti dari pihak Pertamina.
“Dari tanggal 29 sampai sekarang tidak ada solar. Alasannya juga tidak jelas. Yang ada malah rayap-rayap (pengetap) itu yang bebas main pelangsir,” ungkap Musfar.
Padahal, menurutnya, sistem antrean dan pembatasan pembelian solar selama ini sudah berjalan baik. Para sopir truk hanya diberi jatah 80 liter per hari, yang cukup untuk kebutuhan pengangkutan jarak jauh maupun lokal.
“Kalau ke Grogot, 80 liter cukup untuk pulang-pergi satu hari. Kalau cuma mutar Penajam–Petung, bisa tiga hari. Ke IKN juga habisnya sehari,” jelasnya.
Musfar berharap pasokan bio solar segera kembali normal. Ia menyebut alternatif lain seperti Pertamina Dex terlalu mahal bagi pendapatan harian sopir.
“Kalau beli Dex, enggak sebanding sama pendapatan. Untungnya jadi tipis. Sekarang cuma bisa bawa pulang 200 ribu, yang penting bisa makan dulu. Kami berharap pemerintah dan Pertamina segera bertindak,” tegasnya.
Sekda Janji Distribusi Normal dalam Dua Hari
Menanggapi aksi para sopir, Sekretaris Daerah PPU, Tohar, mengaku telah menerima laporan dan segera melakukan koordinasi dengan pihak Pertamina. Ia memastikan bahwa pendistribusian solar akan kembali normal dalam waktu dua hari.
“Hari ini kita anggap belum dihitung. Artinya, sore ini atau besok (07/08/2025) sudah bisa tersedia di SPBU KM 9,” katanya.
Tohar juga menyarankan agar dibentuk badan usaha khusus yang menangani pengadaan dan pengawasan distribusi BBM di PPU. Ia menilai pengawasan selama ini belum maksimal, sehingga masalah serupa terus berulang.
“Kami juga sudah berkoordinasi dengan Kepolisian dan Pertamina. Tapi pengawasan struktural harus lebih efektif supaya tidak terulang,” ujarnya.
Ia meminta Pertamina untuk segera menemukan akar permasalahan agar bisa menyelesaikan kelangkaan secara menyeluruh.
Pengamat: Kinerja Pertamina Raport Merah Terbakar!
Ekonom Universitas Mulawarman, Purwadi, menilai kelangkaan bio solar dan BBM bersubsidi lain seperti gas LPG dan Pertalite bukanlah hal baru. Ia menuding lemahnya pengawasan distribusi dan kurangnya transparansi dari Pertamina sebagai sumber persoalan utama.
“Kelangkaan ini lagu lama. Saya pernah tantang Pertamina dan pemprov untuk diskusi terbuka soal ini, tapi tak pernah ada tindak lanjut,” katanya.
Menurut Purwadi, solusi seperti digitalisasi distribusi BBM sebenarnya sangat mudah dilakukan. Namun hingga kini Pertamina belum mampu mewujudkannya.
“Harusnya masyarakat bisa tahu SPBU mana yang punya stok solar. Tapi yang sederhana seperti itu saja tidak bisa. Ironis, PPU ini dekat dengan Kota Minyak, bahkan lahannya ditambang untuk migas, tapi malah langka solar,” sindirnya.
Ia juga mengkritik alasan yang kerap dipakai Pertamina, yakni kebutuhan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, Pertamina tidak pernah membuka data konkret soal alokasi BBM untuk proyek tersebut.
“Emangnya IKN punya SPBU? Kalau iya, berapa kebutuhannya? Tidak pernah dijelaskan. Ini rakyat yang dikorbankan terus,” cetusnya.
Efek Domino dan Seruan Evaluasi Total
Purwadi menegaskan, sopir truk dan BBM bersubsidi adalah dua hal yang sangat berkaitan erat. Ketika mereka kesulitan mendapatkan solar, maka seluruh rantai distribusi logistik ikut terganggu.
“Kalau mereka bawa sembako dan telat, harga bisa naik. Efeknya inflasi. Sementara pendapatan mereka makin tipis, kebutuhan keluarganya—pendidikan, kesehatan, listrik, air—semua ikut terganggu,” jelasnya.
Ia mendesak DPRD dan Pemkab PPU agar lebih keras mengawasi distribusi BBM. Menurutnya, inspeksi mendadak (sidak) yang selama ini dilakukan tanpa tindak lanjut tidak pernah membuahkan hasil.
“Berani nggak Pertamina pasang sistem digitalisasi yang transparan? Bisa kelihatan solar keluar berapa, ke mana saja, bahkan nomor polisinya. Kalau begitu rakyat pasti tenang,” tantangnya.
Purwadi menuding, akar masalahnya adalah ketidaksiapan Pertamina secara SDM, teknologi, dan infrastruktur. Ia menyebut situasi ini sebagai bukti buruknya tata kelola distribusi BBM.
“Kalau mau kasih raport merah, Pertamina ini merah terbakar. DPR RI juga harus bersuara soal ini. Kaltim penghasil migas kok bisa langka BBM,” katanya. (*)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id