
Tanggapi respons Polisi, BEM-KM Unmul dapat dukungan, terkait postingan Wapres patung istana. Salah satu respons tersebut datang dari Koalisi Kebebasan Berekspresi yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, para dosen fakultas hukum dan para aktivis.
Akurasi.id, Samarinda – Postingan Badan Eksekutif Mahasiswa – Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) Universitas Mulawarman (Unmul) di dunia maya bertajuk “Kaltim Berduka – Patung Istana Merdeka Datang ke Samarinda” terus menjadi sorotan.
Terlebih saat kepolisian Satreskrim Polresta Samarinda mengeluarkan secarik kertas pada Senin (8/11/2021) kemarin bernomor B/1808/XI/2021, perihal permintaan keterangan dari Presiden BEM-KM Unmul, Abdul Muhammad Rachim untuk diperiksa, Rabu (10/11/2021) tadi menuai beragam tanggapan.
Salah satu respons tersebut datang dari Koalisi Kebebasan Berekspresi yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, para dosen fakultas hukum dan para aktivis. BEM-KM Unmul dapat dukungan.
Menurut Fathul Huda dari LBH Samarinda langkah kepolisian patut disayangkan. Sebab kata Fathul, postingan yang dilakukan teman-teman BEM-KM Unmul di akun Instagram @bemkmunmul pada 2 November lalu merupakan bagian dari kebebasan berpendapat.
Sebab, banyak implementasi dari kata patung tersebut. Dan harus dimaknai sebagai kebebasan berpendapat karena merupakan bentuk sebuah kritik.
“Pihak kepolisian segera menghentikan proses penyelidikan, atau menerbitkan surat perintah pemberhentian penyelidikan. Karena apa? Karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat jangan hanya bermodalkan nekat dan mungkin ada sedikit unsur tekanan dari kekuasaan,” ucap Fathul, Kamis (11/11/2021) sore tadi.
[irp]
Meski pihak kepolisian, yakni Satreskrim Polresta Samarinda akan terus melanjutkan penyelidikannya, dengan menjadwal ulang upaya pemanggilan kedua, Fathul pun dengan tegas mengatakan jika koalisi masyarakat sipil pro demokrasi akan terus memberikan dukungannya.
“Kami sebagai bagian dari koalisi masyarakat sipil yang pro demokrasi akan selalu mensupport kawan-kawan yang senantiasa melakukan kritik kepada kekuasaan,” tekannya.
Sementara itu, hal serupa juga disampaikan Hendiansyah Hamzah Dosen Fakultas Hukum, Unmul Samarinda. Menurut pria yang karib disapa Castro ini, penggunaan kata patung istana hanyalah bentuk narasi yang bersifat metafora.
“Kalimat patung istana datang ke Samarinda hanya sebuah istilah metafor. Itu sudah berulang kali kami sampaikan. Kalimat metafor itu tidak layak untuk diproses secara hukum,” tegas Castro.
[irp]
Bahkan menutur Castro jika aparat berwajib terus melakukan tindaklanjutnya dengan dasar memproses narasi bersifat metafora tersebut, maka setengah populasi penduduk Indonesia akan menjadi narapidana.
“Jadi bagi kami kalimat metafor seperti itu menggambarkan kecerdasan seseorang. Melarang atau melaporkan hal ini ke polisi, itu sama saja dengan pembungkaman dan mematikan kecerdasan seseorang,” imbuhnya.
Tanggapan serupa pula juga dikemukakan Roy Hendrayanto yang merupakan akademisi, dosen Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus (Untag) Samarinda.
Menilik isi surat pemanggilan polisi kepada Presiden BEM-KM Unmul tersebut, diketahui Korps Bhayangkara sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana yang berbunyi, barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina sesuatu kekuasaan di Negara Indonesia.
[irp]
Atau suatu majelis dengan niat menghina untuk diketahui orang banyak, merusak kehormatan dan nama baik seseorang dengan sengaja. Sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 207 KUHP dan atau Pasal 208 KUHP.
“Dalam penerapan empat pasal ini menjadi tanda kutip. Yang mana seharusnya ini masuk ke dalam ranah delik aduan. Yang mana unsurnya adalah penguasa yang merasa dirugikan atas postingan tersebut,” jelas Roy.
Dalam surat pemanggilan tersebut, Kasat Reskrim Andika Dharma Sena yang sebelumnya dikonfirmasi mengatakan jika tidak ada pelapor resmi. Dan pihak kepolisian hanya bertujuan melakukan klarifikasi postingan yang viral di dunia maya tersebut.
Akan tetapi pernyataan Korps Bhayangkara itu tidak lantas dibenarkan Roy. Sebab menurut praktisi hukum ini, unsur dalam Pasal 310 KUHP, Pasal 311 KUHP, Pasal 207 KUHP, Pasal 208 KUHP berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat delik aduan.
[irp]
“Ini mestinya masuk ke ranah delik aduan. Harus ada orang yang dirugikan. Misalkan Wapres (Ma’ruf Amin) memberi kuasa ke LBH tertentu untuk diproses kepolisian,” imbuhnya.
Jika pihak kepolisian hanya berdasar dari viralnya postingan tersebut dirasa kurang cermat.
“Teman-teman kepolisian jangan justru membuat gaduh. Karena ini masuk ke dalam delik aduan. Ini sedikit memaksakan. Kalau mau memberi pelajaran harusnya kan mengambil langkah persuasif,” pungkasnya. (*)
Penulis : Zulkifli
Editor: redaksi