Ratusan Security PT TPL Serbu Petani Sihaporas, Warga Luka-Luka dan Posko Rusak

Selain memukul warga, massa PT TPL juga merusak posko masyarakat adat, menghancurkan enam sepeda motor, dan merusak rumah bersama yang menjadi pusat aktivitas warga Sihaporas.
Suci Surya
894 Views

Kaltim.akurasi.id, Simalungun – Bentrokan berdarah kembali pecah di wilayah adat Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Senin (22/9/2025). Ratusan pekerja dan petugas keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL) menyerang masyarakat adat yang sedang berladang di kawasan Buntu Panaturan. Lokasi ini berada sekitar 2–3 kilometer dari bibir Danau Toba, tepatnya di Dolok Mauli/Ujung Mauli dan Sipolha.

Sedikitnya lima warga mengalami luka-luka akibat pukulan dan lemparan batu. Korban luka di antaranya seorang perempuan, DL (34), yang mengalami luka parah di bagian wajah hingga bibirnya robek dan berdarah. Korban laki-laki lainnya adalah SA (63), PS (55), dan ES (44).

Menurut pengurus Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), massa PT TPL juga merusak posko masyarakat adat serta enam sepeda motor milik warga. Hingga siang hari, para pekerja PT TPL masih berada di lokasi, sementara warga bertahan dengan ketakutan akan terjadinya serangan lanjutan.

Kronologi Kejadian

Sekira pukul 08.00 WIB, rombongan yang terdiri dari petugas keamanan PT TPL, buruh harian lepas (BHL), dan sejumlah orang yang diduga preman bayaran mulai berkumpul di sekitar wilayah adat Sihaporas, tepatnya di Buttu Pangaturan.

Jumlah mereka diperkirakan mencapai 150 orang, mengenakan seragam hitam, helm pelindung, dan membawa senjata seperti tongkat kayu panjang, tameng rotan, parang bengkok, serta alat setrum. Mereka datang menggunakan tujuh truk dan tiga mobil pribadi.

Saat itu, sekitar 30 warga adat berkumpul di rumah bersama Buntu Pangaturan. Warga berusaha menghadang dan mencoba bernegosiasi agar pertemuan dilakukan secara damai. Namun, pihak keamanan PT TPL tidak mengindahkan upaya tersebut.

Menurut keterangan saksi, seorang petugas keamanan TPL terdengar memerintahkan, “Dorong saja!”. Setelah itu, pekerja TPL mulai mendorong warga. Ketika warga menahan, mereka dipukul menggunakan tongkat kayu dan dilempari batu.

Selain memukul warga, massa PT TPL juga merusak posko masyarakat adat, menghancurkan enam sepeda motor, dan merusak rumah bersama yang menjadi pusat aktivitas warga Sihaporas. Hingga berita ini diturunkan, kedua pihak masih berada di lokasi. Warga tetap bertahan di Buttu Pangaturan dengan rasa was-was, khawatir serangan baru akan terjadi sewaktu-waktu.

Latar Belakang Konflik: Tanah Adat Sihaporas

Masyarakat adat Sihaporas telah mendiami tanah leluhur mereka selama 11 generasi. Leluhur mereka, Martua Boni Raja atau Ompu Mamontang Laut Ambarita, membuka perkampungan pertama pada awal 1800-an.

Mereka menegaskan bukan penggarap maupun pendatang, melainkan pewaris sah tanah adat. Bukti sejarah keberadaan mereka tercatat dalam peta enclavé yang diterbitkan pemerintah kolonial Belanda pada 1916, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Pada masa kolonial, tanah ini pernah dimanfaatkan Belanda untuk kebun ubi dan tanaman pinus. Hingga kini, komunitas Sihaporas memegang teguh tradisi leluhur yang diwujudkan dalam tujuh ritual adat yang dijalankan secara rutin, antara lain:

  1. Patarias Debata Mulajadi Nabolon yakni pesta adat memuliakan Sang Pencipta, digelar setiap empat tahun selama tiga hari dua malam dengan iringan musik gondang.
  2. Raga-raga Na Bolak Parsilaonan yakni doa dan persembahan untuk leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, juga dilaksanakan setiap empat tahun sekali.
  3. Mombang Boru Sipitu Suddut yaitu persembahan doa kepada Raja Uti dan Raja Sisingamangaraja, tanpa musik gondang.
  4. Manganjab yaitu doa di ladang memohon kesuburan dan perlindungan dari hama tanaman, digelar setiap tahun.
  5. Ulaon Habonaran i Partukkoan yakni doa kepada leluhur dan Raja Sisingamangaraja untuk menjauhkan kampung dari mara bahaya.
  6. Pangulu Balang Parorot yaitu doa kepada penjaga kampung agar warga terhindar dari bencana.
  7. Manjuluk berupa ritual doa sebelum mulai menanam di ladang atau gubuk.

Tetua adat Mangitua Ambarita menegaskan, ritual-ritual ini adalah identitas yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sihaporas.

“Menjalankan ritual adat adalah bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta, leluhur, dan alam. Tanah ini bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga warisan spiritual yang harus dijaga untuk generasi berikutnya,” ujarnya.

Bagi masyarakat adat Sihaporas, konflik dengan PT TPL bukan sekadar persoalan lahan, tetapi ancaman terhadap kelangsungan budaya, identitas, dan keberadaan komunitas adat itu sendiri. (*)

Penulis: Nelly Agustina
Editor: Suci Surya Dewi

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Menu Vertikal
Menu Sederhana