Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Koalisi Pokja 30 bersama Fraksi Rakyat Kutim (FRK) menyoroti lemahnya keterbukaan informasi publik di sektor pertambangan. Sorotan ini menguat setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggugat balik warga Kutai Timur dalam sengketa dokumen tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Isu tersebut mengemuka dalam konferensi pers dan diskusi publik memperingati Right to Know Day 2025 atau Hari Keterbukaan Informasi Publik Sedunia di Samarinda, Minggu (28/9/2025). Kegiatan ini mengusung tema “Transparansi Semu Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia.”
Keterbukaan Informasi Masih Jauh dari Harapan
Hak atas informasi publik dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Namun, setelah 17 tahun berlaku, implementasinya dinilai belum berjalan ideal.
Data Resource Governance Index (RGI) 2017 mencatat Indonesia hanya memperoleh skor 65 dari 100 dalam aspek keterbukaan informasi. Sementara itu, hasil validasi Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) 2024 memberikan skor 67—masih terbilang rendah. Fakta ini menunjukkan lemahnya tata kelola transparansi di sektor pertambangan, meskipun sektor tersebut berkontribusi besar pada perekonomian nasional.
Sengketa Dokumen KPC: Dari Menang ke Digugat Balik
Sejak 2022, dua aktivis FRK, Erwin Febrian Syuhada dan Junaidi Arifin, mengajukan permohonan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), serta Rencana Induk Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) milik KPC. Namun, ESDM menolak dengan alasan dokumen termasuk informasi yang dikecualikan.
Baca Juga
Proses sengketa bergulir hingga Komisi Informasi Pusat (KIP). Pada April 2025, KIP memutuskan dokumen RKAB dan PPM bersifat terbuka. Putusan berikutnya pada 30 Juli 2025 juga memenangkan warga, menyatakan dokumen AMDAL wajib dibuka untuk publik.
Alih-alih menjalankan putusan, ESDM justru menggugat balik ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Langkah ini dinilai mencederai semangat keterbukaan informasi dan melemahkan prinsip demokrasi.
Koalisi: Demokrasi Dikhianati
Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, menilai sikap pemerintah inkonsisten.
“Sejak 17 tahun UU KIP berlaku, keterbukaan di sektor tambang masih jalan di tempat. Pemerintah lebih sering bersembunyi di balik dalih pengecualian. Padahal, transparansi adalah hak dasar warga negara,” tegasnya.
Baca Juga
Erwin Febrian menyebut gugatan balik ESDM sebagai tamparan keras bagi demokrasi.
“Ini bukan sekadar soal dokumen teknis. AMDAL, RKAB, dan PPM menentukan masa depan lingkungan dan masyarakat Kutai Timur. Menutupnya sama dengan menutup hak rakyat untuk hidup sehat dan bermartabat,” ujarnya.
Senada, Junaidi Arifin menilai sengketa ini sebagai ujian serius bagi pelaksanaan UU KIP.
“Kalau negara saja takut membuka dokumen lingkungan, bagaimana rakyat bisa percaya pada tata kelola pertambangan?” katanya.
Tuntutan dan Seruan Publik
Pokja 30 dan FRK mendesak ESDM mematuhi UU KIP serta melaksanakan putusan KIP tanpa mencari celah hukum. Mereka menegaskan keterbukaan dokumen pertambangan—terutama AMDAL, RKAB, dan PPM—merupakan hak publik karena menyangkut keselamatan lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah diminta memperkuat mekanisme akses informasi dan menghentikan praktik “transparansi semu” yang selama ini hanya menguntungkan korporasi.
Koalisi juga menyerukan masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas lokal untuk mengawal kasus ini sebagai preseden penting bagi keterbukaan informasi di Indonesia. Diskusi publik turut menghadirkan akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Warkhatun Najidah serta Wakil CSO EITI Indonesia Yusnita Ike Christanti.
“Right to Know Day mengingatkan bahwa tanpa keterbukaan informasi, demokrasi kehilangan makna. Transparansi bukan sekadar jargon, melainkan pondasi untuk memastikan pertambangan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tapi juga melindungi rakyat dan lingkungan,” tutup Buyung. (*)
Baca Juga
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id