Hujan di Bukit Pinang Samarinda bukan lagi berkah. Ia adalah ketukan keras di pintu, yang bisa sewaktu-waktu berubah jadi terjangan banjir.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Hujan deras, yang bagi sebagian orang hanya sebatas tanda musim, kini menjadi alarm bahaya bagi warga Perumahan Bukit Pinang, Samarinda. Di RT 12 dan RT 13, setiap derasnya air dari langit seakan berubah jadi ombak yang menghantam rumah, meninggalkan jejak ketakutan, kerugian, dan amarah.
Achmad (39), seorang warga yang sudah 16 tahun menetap di sana, mengingat dengan jelas bagaimana keadaan sebelum bukit di sekitarnya digunduli untuk pergudangan.
“Dulu banjir ada, tapi biasa saja. Tidak separah sekarang. Sekarang seperti ombak sedang. Gunung-gunung yang tinggi sudah dipotong habis. Jadi kalau hujan sedikit saja, air langsung meluap,” ujarnya dengan nada getir.
Ketika Bukit Dihancurkan
Pergudangan yang berdiri di turunan bukit itu diduga menjadi titik awal malapetaka. Lahan dipangkas, tanah dipadatkan, sementara parit yang ada tak mampu menampung derasnya aliran. Air kehilangan jalannya, lalu mencari celah, menghantam rumah-rumah warga.
Menurut Achmad, pematangan lahan dilakukan tanpa pembuatan parit terlebih dahulu. Padahal aturan jelas, sebelum tanah dipadatkan, saluran air harus tersedia.
Puncak amarah warga terjadi pada 2019 dan 2021. Banjir bandang memorak-porandakan kawasan tersebut. Meski tak ada korban jiwa, kerugian material cukup besar. Ironisnya, ganti rugi hanya datang dari pihak pergudangan, itu pun sebatas Rp2 juta. Sementara, kata Achmad, pemerintah sama sekali tak ada uluran tangan.
Folder yang Tak Cukup
Setelah tragedi 2021, sebuah folder akhirnya dibangun pada 2022. Warga sempat berharap ada kelegaan. Namun kapasitasnya dinilai terlalu kecil. Folder itu ibarat ember menampung lautan.
“Kalau hujan deras, warga selalu waspada. Karena banjirnya deras, bukan genangan biasa,” kata Achmad.
Warga khawatir, jika folder tidak jebol, maka air akan meluap dan kembali menghantam rumah mereka. Harapan berubah jadi kecemasan.

Janji yang Menguap
Laporan demi laporan sudah disampaikan, dari RT hingga dinas terkait. Petugas datang, mengukur, mencatat. Tetapi setelah itu, hilang tanpa kabar.
“Folder kecil dibangun setelah banjir besar 2021 itu kapasitasnya tak sebanding dengan derasnya aliran air,” keluh Achmad.
DPRD Samarinda sempat membahas persoalan ini. Namun yang diundang justru bukan warga terdampak langsung, melainkan pihak lain yang tidak merasakan banjir. “Aneh sekali. Kami yang kena, tapi bukan kami yang dipanggil,” tandasnya.
Pakar: Soal Izin dan Kesadaran
Bagi Direktur Pusat Studi Perkotaan Planosentris, Farid Nurrahman, keluhan warga Bukit Pinang bukan sekadar jeritan. Itu alarm keras tentang lemahnya kendali tata ruang di Samarinda.
Menurutnya, banjir yang dipicu pematangan lahan pergudangan bukan sekadar air meluap. Ia adalah cermin dari regulasi yang diabaikan dan kesadaran pengembang yang minim.
“Yang pertama harus diperiksa itu izin. Ada namanya KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang),” jelas Farid.
Ia meyakini izin kawasan tersebut sudah ada. Tetapi izin hanyalah pintu awal. Pengembang tetap wajib melengkapi syarat lain, mulai dari izin lingkungan di Dinas Lingkungan Hidup, hingga Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di Cipta Karya Pemkot. Sayangnya, pengusaha seringkali tak sabar.
“Kebiasaannya, sambil izin diproses, mereka sudah bergerak mematangkan lahan. Padahal secara aturan, izinnya harus keluar dulu. Di sinilah sering terjadi masalah,” katanya.
Farid menegaskan, warga terdampak punya hak penuh mempertanyakan bahkan menuntut pengembang. Kesadaran pengembang seharusnya jadi kunci.
“Ketika membuka lahan, pasti ada dampak. Maka warga berhak menuntut tanggung jawab mereka,” ujarnya.
Langkah warga yang terus melapor ke pemerintah kota adalah langkah tepat, namun jelas tak cukup jika hanya berujung pengukuran tanpa tindak lanjut.
“Detail engineering design yang diajukan pengembang itu harus direview. Ditinjau ulang, apakah mereka sudah benar-benar mengantisipasi dampak lingkungan dari pengembangan kawasan,” katanya.
Mitigasi, tambah Farid, semestinya dilakukan dua arah. Warga memang bisa memperbaiki drainase kecil di sekitar rumah, tapi pengembang punya kewajiban lebih besar: menyediakan sistem resapan dan saluran pembuangan sesuai standar.
“Yang paling penting, warga harus menuntut kejelasan. Termasuk, apakah wilayah ini masuk prioritas penanganan banjir atau tidak. Jangan sampai tidak masuk sama sekali. Pemerintah kota pasti punya peta jalan, tinggal dikonfirmasi saja,” jelasnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id