Kaltim.akurasi.id, Samarinda — Persoalan agraria di Kalimantan Timur masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat, 61,13 persen kasus pertanahan di Kaltim belum terselesaikan. Angka itu menempatkan Kaltim sebagai salah satu provinsi dengan konflik lahan tertinggi di Indonesia.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menegaskan, penyelesaian konflik tanah di Kaltim tidak bisa lagi dilakukan secara sektoral atau administratif semata.
“Dari 386 kasus pertanahan di Kaltim, baru 150 kasus atau 38,87 persen yang tuntas. Sisanya, 236 kasus masih berproses. Ini menunjukkan tata kelola tanah kita belum sehat,” ujarnya, Jumat (24/10/2025).
Menurut Nusron, akar masalah agraria di Kaltim bukan hanya soal sengketa antarwarga, tetapi juga tumpang tindih kepemilikan antara pemerintah daerah, BUMN, TNI/Polri, dan masyarakat.
“Banyak lahan yang dikuasai masyarakat ternyata masuk dalam aset negara. Kita cari solusi berbasis kemanusiaan, bukan semata hukum. Kalau pakai hukum saja, hasilnya kalah-menang. Kami ingin rumus yang win-win,” tegasnya.
Baca Juga
Ia menyebut, banyak konflik bermula dari lemahnya pengawasan dan kaburnya batas wilayah. Dalam sejumlah kasus, perusahaan besar bahkan memanfaatkan celah hukum untuk memperluas konsesi hingga ke lahan warga.
“Ada yang menguasai ribuan hektare tanpa aktivitas. Ada pula yang memanfaatkan lahan negara tanpa izin. Ini semua harus dibersihkan,” ujarnya.
Sebagai langkah awal, pemerintah pusat akan menertibkan 210 bidang tanah terindikasi telantar seluas 148.388 hektare. Lahan tersebut akan dialihkan untuk program reforma agraria dan ketahanan pangan nasional.
Baca Juga
“Tanah yang ditelantarkan akan kita manfaatkan untuk rakyat. Bisa untuk lahan jagung, padi, atau energi bioetanol. Tanah tidak boleh diam sementara rakyat butuh hidup,” kata Nusron.
Selain itu, pelanggaran kewajiban plasma sawit juga disebut memperparah ketimpangan penguasaan lahan di Kaltim. Berdasarkan laporan pemda, banyak perusahaan pemegang HGU yang tidak menyalurkan minimal 20 persen lahan plasma bagi masyarakat.
“Kalau mereka tetap melanggar, kami akan cabut HGU-nya. Jangan menikmati hasil bumi tanpa memberi manfaat ke rakyat,” tegasnya lagi.
Nusron turut menyoroti rendahnya sertifikasi tanah rumah ibadah dan wakaf. Dari 8.476 rumah ibadah di Kaltim, baru 1.805 unit (21,29 persen) bersertifikat. Sedangkan dari 6.526 bidang tanah wakaf, baru 1.209 bidang (18,5 persen) yang sudah bersertifikat.
“Tahun depan minimal 50 persen harus sudah bersertifikat. Ini bukan sekadar dokumen, tapi kepastian hukum bagi umat,” ucapnya.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa penyelesaian masalah tanah di Kaltim menuntut sinergi kuat antara pemerintah pusat dan daerah.
Baca Juga
“Reforma agraria, sertifikasi, sampai tata ruang tidak bisa jalan tanpa dukungan Pemprov dan Pemda. Semua pihak harus duduk bersama. Masalah tanah ini vertikal dan horizontal, semua merasa butuh,” ujarnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id