Penetapan UMP Kaltim 2024 menuai kritik dari pengusaha dan buruh. Ketua APINDO Kaltim, Slamet Brotosiswoyo, mempertanyakan mekanisme yang tidak melibatkan Dewan Pengupahan. Sementara itu, KSBSI menegaskan pentingnya dasar hukum sebelum menetapkan UMP.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Ketua Dewan Pertimbangan APINDO Kaltim, Slamet Brotosiswoyo, mengkritik mekanisme penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 yang dinilai tidak mengikuti prosedur yang berlaku selama ini.
Menurut Slamet, pemutusan UMP seharusnya dilakukan melalui Dewan Pengupahan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, mekanisme yang telah digunakan selama puluhan tahun.
“Pemutusan UMP itu melalui Dewan Pengupahan, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Mekanisme ini sudah berjalan lama dengan aturan yang jelas, termasuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Jika Dewan Pengupahan tidak difungsikan, seharusnya dibubarkan terlebih dahulu,” ujar Slamet saat diwawancarai melalui telepon pada Selasa (3/12/2024).
Ia menyayangkan keputusan presiden yang tidak melibatkan Dewan Pengupahan, karena justru memperumit proses penetapan UMP.
Kritik terhadap Regulasi Baru
Slamet juga menyoroti penghapusan beberapa sektor dalam penetapan UMP, seperti sektor perkebunan, pertambangan, dan migas, yang menurutnya akan semakin memberatkan dunia usaha.
“Jika pemerintah ingin mendorong daya saing usaha, kenapa justru terus membebani dengan regulasi baru seperti ini? Terlebih, kenaikan PPN sebesar 12 persen akan semakin membebani sektor usaha,” ungkapnya.
Meski demikian, Slamet mengakui bahwa kenaikan UMP Kaltim sebesar 6,5 persen pada 2024 masih tergolong wajar. Namun, ia mengingatkan bahwa pada tahun 2017, kenaikan UMP pernah mencapai angka lebih tinggi, yakni 11,25 persen.
“Mekanisme penetapan UMP seharusnya tetap mengikuti prosedur yang jelas. Jika Dewan Pengupahan tidak difungsikan, seharusnya dibubarkan dulu. Presiden baru bisa menetapkan langsung. Apalagi, kami di APINDO belum diundang dalam rapat Dewan Pengupahan,” tegas Slamet.
Ia berharap agar ke depan ada perbaikan dalam mekanisme penetapan UMP yang adil dan tidak berpihak pada salah satu pihak saja.
Serikat Buruh Tunggu Kepastian
Di sisi lain, anggota Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Sulaeman Hattase, mengatakan bahwa pihaknya belum dapat memberikan keputusan terkait besaran UMP 2024 karena belum ada dasar hukum yang jelas.
“Kita masih menunggu Keputusan Menteri (Kepmen). Dasarnya apa 6,5 persen ini? Keputusan harus berdasarkan undang-undang,” ujar Sulaeman, yang juga merupakan anggota Dewan Pengupahan.
Ia menegaskan bahwa penetapan UMP harus merujuk pada aturan yang berlaku dan mengacu pada Undang-Undang. Sulaeman juga mengingatkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menekankan pentingnya dasar hukum dalam penetapan upah.
Sementara itu, perwakilan buruh mengusulkan kenaikan UMP sebesar 8 persen. Namun, Sulaeman menegaskan bahwa angka tersebut harus disepakati bersama berdasarkan hukum yang berlaku.
“Kalau dari teman-teman buruh, minimal 8 persen. Namun, kita tidak bisa begitu saja mengikuti usulan tanpa dasar yang jelas,” ujarnya. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Redaksi Akurasi.id