Pemerintah Kabupaten PPU kelimpungan menghadapi kebijakan penghapusan tenaga honorer di tengah kewajiban mengangkat PPPK paruh waktu. Minimnya anggaran dan tidak jelasnya petunjuk teknis dari pusat membuat daerah seperti berjalan dalam kabut.
Kaltim.akurasi.id, Penajam Paser Utara – Pemerintah daerah di berbagai penjuru Indonesia menghadapi dilema berat menyusul kebijakan penghapusan tenaga honorer berdasarkan Surat Edaran Menpan-RB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022. Idealnya, penghapusan ini harus tuntas paling lambat 28 November 2023. Namun, realisasi di lapangan tidak semudah itu, terutama menyangkut kemampuan anggaran daerah.
Di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), misalnya, masih terdapat sekitar 1.100 tenaga honorer yang belum jelas nasibnya. Mereka terkatung-katung antara harapan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) penuh waktu atau sekadar paruh waktu. Ketidakpastian ini telah memicu unjuk rasa dan rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPRD PPU, terakhir digelar pada 15 Juli 2025.
Perwakilan tenaga honorer yang tergabung dalam Forum Tenaga Teknis Indonesia (Fortekin) PPU menyatakan siap diangkat menjadi PPPK penuh waktu meski tanpa Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). Mereka menyadari keterbatasan anggaran daerah, namun menuntut kejelasan status demi kepastian hukum dan rasa keadilan.
“Kami tidak menuntut TPP jika memang keuangan daerah belum memungkinkan. Tapi kami ingin status yang jelas sebagai PPPK penuh waktu,” kata salah satu perwakilan Fortekin.
Ketimpangan dan Kekaburan Regulasi
Akademisi Universitas Mulawarman, Sulung Nugroho, menilai persoalan ini bisa menimbulkan ketimpangan sosial dan ketidakpastian hukum. Dalam UU ASN dan regulasi turunannya, tidak dijelaskan secara rinci perbedaan mendasar antara PPPK penuh dan paruh waktu. Hal ini menciptakan kekosongan norma dan membuka peluang pelanggaran prinsip keadilan.
“Kalau ditarik ke sila kelima Pancasila, jelas ini tidak adil. Tugasnya sama, tapi haknya tidak. Ini mencederai prinsip keadilan sosial dan asas kepastian hukum,” tegas Sulung.
Menurutnya, keinginan tenaga honorer untuk tetap bekerja penuh meski tanpa TPP merupakan bentuk kompromi. Namun, kompromi ini justru menyoroti betapa lemahnya dasar hukum status paruh waktu yang kini dijalani sebagian tenaga honorer.
Butuh Regulasi Baru
Sulung menyarankan agar pemerintah pusat merevisi PP Nomor 49 Tahun 2018 atau membuat aturan turunan yang memperjelas mekanisme PPPK paruh waktu. Jika tidak, kebijakan ini rawan penyimpangan administratif dan melanggar prinsip good governance.
“Ini seperti reinkarnasi honorer dalam bungkus baru. Tidak ada jaminan karir, tidak ada perlindungan sosial, dan tidak setara dalam pengupahan. Negara sedang main-main dengan konstitusi,” pungkasnya.
Ia menegaskan pentingnya pengawasan oleh DPR dan Ombudsman agar kebijakan ini tidak menjadi alat manipulatif yang justru menindas tenaga kerja sektor publik.
DPRD Desak Penyelesaian
Ketua Komisi I DPRD PPU, Ishaq Rahman, menegaskan bahwa penyelesaian status tenaga honorer tidak boleh ditunda lagi. Pemerintah daerah harus segera mengusulkan formasi baru ke pemerintah pusat. Jika tidak, PPU bisa tertinggal dalam proses nasional pengangkatan PPPK.
“Paling lambat 2026 semuanya harus selesai. Kalau tidak segera diajukan, pusat tidak akan tahu PPU masih punya ribuan honorer,” ujarnya.
Ishaq juga menyoroti data yang masih simpang siur. Versi penggajian mencatat 3.078 pegawai, sedangkan data Fortekin mencatat 1.818 orang, termasuk non-database. Hal ini menunjukkan perlunya verifikasi menyeluruh.
Pemkab PPU Akui Keterbatasan Fiskal
Bupati PPU, Mudyat Noor, mengakui bahwa target nasional penghapusan honorer pada 2024 sulit dicapai karena inkonsistensi pemerintah pusat. Meski kebutuhan anggaran sudah dihitung, dana yang turun tidak mencukupi.
“Kita ajukan Rp10 miliar, yang cair hanya Rp2 miliar. Ini menyulitkan. Kalau memang tanggung jawab daerah, dari awal seharusnya pusat tidak ikut mengatur,” kata Mudyat.
Mudyat menegaskan komitmennya menyelesaikan polemik ini, namun tetap mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah yang sangat terbatas dibanding kabupaten lain di Kaltim. (*)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id