Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Nampaknya larangan jual-beli Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah tampaknya belum sepenuhnya dipatuhi. Seorang wali murid SD 017 Samarinda melaporkan bahwa praktik tersebut masih terjadi.
Padahal, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda telah menegaskan larangan jual-beli buku di sekolah untuk mencegah munculnya beban tambahan bagi orang tua siswa.
Melalui Surat Edaran Nomor 100.4.4/8583/100.01 Tahun 2024, Pemkot Samarinda menegaskan bahwa sekolah, baik di jenjang SD maupun SMP, dilarang menjual buku kepada siswa. Hal ini karena kebutuhan buku wajib sudah ditanggung melalui dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Sedangkan buku penunjang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Samarinda.
Orang tua murid SD 017 Samarinda, Shanty Ramadhania mengaku awalnya mendapat informasi dari grup paguyuban orang tua murid sejak awal September lalu. Dalam grup itu beredar rekomendasi pembelian LKS. Memang tidak ada kata “wajib”, namun diarahkan membeli di rumah salah satu guru dengan disertai lokasi lengkap.
“Saya sempat tidak memperhatikan. Tapi beberapa hari kemudian saya baca lagi, ternyata memang ada arahan beli LKS. Jumlahnya tujuh buku dengan harga Rp20 ribu per buku, total sekitar Rp140 ribu sampai Rp150 ribu,” ungkapnya.
Baca Juga
Merasa janggal, Shanty pun menanyakan di grup, mengapa masih ada praktik jual-beli buku, padahal Pemkot Samarinda sudah punya program sekolah gratis. Namun pertanyaannya tidak mendapat jawaban, baik dari wali kelas maupun orang tua lain. Ia lalu mencoba menghubungi wali kelas secara pribadi pada 25 September malam, namun tidak ditanggapi.
Keesokan harinya, meski sekolah sedang libur karena ada kegiatan, Shanty tetap mendatangi SD 017 Samarinda. Di sana ia bertemu wali kelas anaknya dan salah satu guru yang menjual buku. Kepala sekolah kemudian dihubungi lewat telepon untuk memberikan penjelasan.
“Pihak sekolah bilang LKS ini tidak diwajibkan, tapi dianjurkan karena dianggap menunjang nilai. Kepala sekolah bahkan bilang, ‘Ibu mau anaknya nilainya setengah gelas atau penuh sampai bibir gelas?’ Jadi walau dibilang tidak wajib, terasa seperti diwajibkan,” ucapnya.
Baca Juga
Shanty mengaku dihadapkan dengan sekitar 10 guru, termasuk wali kelas dan guru yang menjual LKS. Ia merasa mendapat tekanan bahkan bentakan.
“Mereka bilang kalau keberatan, silakan datangkan Pak Andi (Wali Kota Samarinda) ke sini. Kalau mau melapor, silakan,” katanya.
Menurut Shanty, bahasa yang digunakan pihak sekolah adalah bahwa LKS bisa menambah nilai dan pengetahuan siswa, sebab buku gratis dari pemerintah dinilai materinya tidak lengkap.
Tak berhenti di situ, Shanty juga mengaku mendapat ancaman bahwa anaknya bisa dikeluarkan dari sekolah.
“Anak saya tidak salah apa-apa. Tapi saya diancam karena dianggap orang tua yang tidak bisa diatur. Walaupun Dinas Pendidikan menjamin anak saya tidak dikeluarkan, saya takut nanti ada dampak lain seperti dibeda-bedakan atau di-bully,” tutupnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Suci Surya Dewi