Sisi Lain MBG: Senyum Orangtua Murid, Untung Tipis Pelaku Bisnis Sosial

Suci Surya
886 Views

KETIKA tulisan sederhana ini hadir di ruang baca, mungkin Anda semua sedang serius menyimak sejumlah isu aktual tentang implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Utamanya tentang keracunan massal yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Isu tersebut tentu membuat kita prihatin sekaligus terdorong memberikan koreksi konstruktif.

Para pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG harus benar-benar melakukan kontrol kualitas secara cermat dan hati-hati; dari hulu ke hilir. Mulai pemilihan bahan pangan, teknis penyiapan bahan baku, teknis memasak, pembersihan food tray, teknis penyiapan porsi, hingga pelaksanaan distribusi ke berbagai sekolah.

Pada sisi lain, pengawasan secara internal dan eksternal harus ditingkatkan. Ahli gizi SPPG harus menjalankan peranannya secara maksimal – tanpa sungkan dan pakewuh – dalam tata laksana SPPG. Secara eksternal, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga harus melakukan pengawasan ketat.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti beberapa sisi lain yang mungkin tak sering diungkap. Pertama, temuan kami di lapangan, banyak orangtua murid yang merasa gembira dengan implementasi program MBG ini. Banyak orangtua – khususnya dari kalangan tidak mampu – belum bisa menyiapkan sarapan atau memberikan uang saku yang cukup untuk anaknya. Keberadaan makan siang gratis di sekolah menghadirkan senyuman di wajah mereka.

Kedua, terungkap fakta banyak jumlah tenaga kerja yang diserap dapur MBG kian meningkat. Informasi yang saya terima, 1 SPPG yang menyiapkan 4.000 porsi MBG per hari bisa menyerap sekira 50 tenaga kerja. Mulai dari ahli gizi, juru potong bahan baku, juru masak, tenaga penyiapan porsi, tenaga pembersihan, hingga sopir. Dapur MBG bisa menyerap tenaga kerja dari kalangan ibu-ibu, korban PHK, anak yang baru lulus sekolah, dan lainnya.

Ketiga, saya mendengar langsung dari pengelola SPPG, bahwa keuntungan usaha SPPG relatif kecil. 1 porsi MBG menghasilkan keuntungan antara Rp500-Rp1.000. Pasalnya, menu yang disajikan harus lengkap dan bergizi. Modal awal plus dana talangan yang harus dipersiapkan relatif besar, risikonya pun besar. Artinya, MBG ini lebih cenderung merupakan bisnis sosial guna memberikan manfaat kepada anak bangsa dan menyerap tenaga kerja.

Keempat, sebagai bisnis sosial, usaha SPPG tampak tidak menarik bagi para pengusaha besar, terutama pengusaha katering. Nominal keuntungan yang relatif kecil ini membuat kenaikan jumlah SPPG berjalan lambat. Hingga akhirnya Presiden RI mendorong siapa saja yang mau membantu program ini untuk proaktif bergerak. Data Badan Gizi Nasional (BGN), dari 8.344 SPPG yang beraktivitas saat ini, seluruhnya dikelola oleh swasta/perorangan. SPPG yang didanai APBN baru akan dibangun Kementerian PU dan BGN, termasuk di daerah 3T.

Jadi, jangan heran bila yang menyambut seruan Presiden RI ini di antaranya para anggota dewan; baik pusat maupun daerah. Sebagian dari mereka memiliki kemampuan keuangan, sekaligus rela mendapatkan keuntungan yang relatif kecil (dibandingkan jenis bisnis lainnya) demi keberlangsungan MBG. Beberapa hari ini, telah mengemuka pemberitaan tentang SPPG yang dimiliki anggota dewan. Saya menilai ada misi sosial di balik dukungan mereka.

Kelima, seiring berjalannya waktu, pelaksanaan program MBG akan disinergikan dengan aktivitas Koperasi Desa Merah Putih sebagai pemasok bahan baku dapur MBG. Kami di DPD RI sangat mendukung langkah sinergi ini. Apalagi Kopdes Merah Putih diarahkan untuk memutus peran tengkulak yang umumnya membeli hasil produksi petani dengan harga sangat rendah, namun menjual kembali dengan harga tinggi. Semoga Kopdes Merah Putih bisa menyerap produksi petani dengan harga yang layak; sebagai bahan baku MBG.

Kita semua menyadari betapa pentingnya gizi untuk tumbuh kembang anak-anak bangsa; sebagai investasi strategis masa depan RI. Bagi orangtua yang mampu, mungkin MBG dianggap sebatas pengganti catering di sekolah fullday. Namun bagi siswa di sekolah negeri, MBG merupakan karunia yang mereka syukuri. Menunya lengkap dan bisa menghemat uang jajan; meski citarasanya tak senikmat makanan kantin sekolah (kerena SOP-nya non-MSG).

Sekarang, mari kita berikan kesempatan pemerintah dan para pengelola SPPG untuk bekerja; sekaligus meningkatkan pengawasan internal dan eksternal, serta quality control maksimal. Bilamana program ini diganti uang tunai – sebagaimana wacana aktual yang mengemuka – bisa saja realisasi di lapangan tidak mencapai tujuannya. Pada sisi lain, pengelola SPPG dilarang keras melakukan mark-up harga dan mengelola menu harian secara sembrono. (*)

 

Tentang Penulis: Aji Mirni Mawarni, ST, MM saat ini menjabat sebagai Anggota MPR RI/Komite III DPD RI. Lahir pada 21 Agustus 1976 di Samarinda, perempuan yang karib disapa Mawar ini sebelum mengemban amanah publik sebagai Senator, ia bertugas sebagai Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Tuah Benua, Kabupaten Kutai Timur.

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Menu Vertikal
Menu Sederhana