Tarif PBB Bontang mendapat posisi terendah, disebut menunjukkan bukti keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakat.
Kaltim.akurasi.id, Bontang – Di saat banyak daerah di Indonesia berbondong-bondong menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga ratusan bahkan ribuan persen, Kota Bontang justru mengambil langkah sebaliknya. Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang konsisten menjaga stabilitas tarif sejak 2019. Bahkan hingga kini masih menerapkan angka terendah, yakni 0,1 hingga 0,2 persen.
Data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Kaltim menunjukkan, Bontang masuk dalam posisi kedua terendah dari 125 kota/kabupaten se-Indonesia dalam hal penerapan tarif PBB. Posisi pertama ditempati Pontianak, sementara sebagian besar daerah lain sudah memilih menaikkan NJOP maupun tarif PBB secara signifikan.
Kepala Bidang Pengelolaan Pendapatan Daerah Bapenda Bontang, Syapriansyah, menegaskan bahwa langkah Bontang ini menjadi bukti keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakat.
“Dari laporan terakhir, Bontang masuk urutan kedua terendah tarif PBB se-Indonesia. Sementara banyak daerah lain menaikkan tarif sampai ratusan persen, kami justru tetap bertahan di 0,1 sampai 0,2 persen. Itu karena kami melihat kondisi masyarakat dan tidak ingin menambah beban,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sejak diberlakukan pada 2019, tarif PBB di Bontang tidak pernah bergeser. Padahal, sesuai aturan terbaru, pemerintah daerah sebenarnya memiliki kewenangan menetapkan tarif hingga 0,5 persen. Namun, Bontang memilih bertahan di batas minimal.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan sejumlah daerah lain yang sudah berani menaikkan tarif secara signifikan. Bahkan ada daerah yang mencatat kenaikan hingga ribuan persen, menimbulkan protes keras dari masyarakat. Syapriansyah menilai, kebijakan menaikkan tarif memang sah secara regulasi, namun perlu mempertimbangkan daya bayar masyarakat.
“Kalau tarif dinaikkan ke 0,5 persen, bayangkan dampaknya. Nilai PBB bisa melonjak berkali lipat. Di Bontang, kami tidak berani melakukan itu, karena pasti akan memberatkan masyarakat,” tegasnya.
Ia menambahkan, perbedaan ini sekaligus menjadi keunggulan Bontang dalam menjaga keseimbangan antara penerimaan daerah dan kemampuan warga. Menurutnya, penerimaan PBB di Bontang masih bisa dioptimalkan tanpa menaikkan tarif, salah satunya melalui validasi data objek pajak.
Tahun lalu, Bapenda Bontang menggandeng Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk melakukan validasi data menggunakan teknologi pemetaan udara (lidar). Hasilnya, ditemukan lebih dari 3.000 objek pajak baru hanya dari tiga kelurahan. Langkah ini dinilai efektif meningkatkan penerimaan tanpa harus mengikuti tren kenaikan tarif seperti daerah lain.
“Bagi kami, lebih baik memperluas basis pajak daripada menaikkan tarif. Dari lidar kemarin, banyak objek yang sebelumnya belum terdata kini bisa masuk, dan itu otomatis menambah penerimaan daerah,” jelas Syapriansyah.
Perbandingan dengan daerah lain semakin menegaskan perbedaan pendekatan yang diambil Bontang. Jika daerah lain mengandalkan kenaikan tarif untuk meningkatkan pendapatan, Bontang justru mengandalkan strategi pendataan yang lebih komprehensif serta pelayanan yang mendekatkan masyarakat, seperti program jemput bola ke kelurahan. Kebijakan ini membuat Bontang relatif aman dari gejolak penolakan yang sempat terjadi di daerah lain akibat lonjakan pajak. Masyarakat pun dinilai lebih tenang dan patuh dalam membayar kewajiban PBB.
“Alhamdulillah, sampai hari ini tidak ada gejolak seperti di daerah lain. Justru masyarakat lebih menerima karena tarif tidak pernah naik. Harapannya penerimaan pajak tetap bisa terjaga,” pungkas Syapriansyah. (adv/bapendabontang/cha/uci)
Penulis: Siti Rosidah More
Editor: Suci Surya Dewi