Menurut Salehuddin, selain peningkatan SDM Kaltim yang harus terus didorong. Ada ketidaksinkronan kategori miskin di Kaltim, dengan di lapangan. Untuk itu, BPS dan Pemprov Kaltim perlu menelaah hal ini lebih lanjut.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Hingga saat ini, permasalahan kemiskinan masih menjadi pembahasan yang krusial, termasuk di Kaltim. Meskipun angka kemiskinan Kaltim disebut menurun, dari 2022 6,31 persen menjadi 6,11 persen di 2022. Namun, tidak dipungkiri masih banyak masyarakat miskin di Kaltim.
Menanggapi persoalan kemiskinan di Benua etam, sebutan Kaltim. Anggota Komisi IV DPRD Kaltim Salehuddin, menawarkan beberapa solusi yang menurutnya perlu diperhatikan untuk menekan angka kemiskinan.
“Yang pertama harus kita benahi adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Agar masyarakat kita memiliki daya saing yang bagus. Serta, tidak tertinggal dengan daerah lain seperti daerah jawa misalnya,” ungkapnya.
Peningkatan SDM di Kaltim, menurut Salehuddin bisa dilakukan dari jenjang sekolah. Serta, pembinaan bagi tenaga kerja yang ada di Kaltim. Dengan memberikan keterampilan yang dapat meningkatkan potensi ekonomi mereka.
“Kemudian, pemerintah harus memberikan fasilitas serta program ataupun kerjasama dengan pihak perusahaan. Yang menyangkut peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar dia.
Politisi Partai Golkar itu menjelaskan, di Kaltim ada kurang lebih seribu lapangan usaha (LU) yang bisa diupayakan untuk membantu mengurangi angka kemiskinan di Kaltim. Baik pertambangan, migas, perkebunan dan lain sebagainya.
“Mereka bisa menyerap tenaga kerja, maka diupayakan SDM nya lagi yang harus disesuaikan dengan kebutuhan,” ujarnya.
Salehuddin: Indikator Miskin Tidak Sesuai dengan Kondisi di Lapangan
Lanjut, ia menjelaskan, bahwa angka kemiskinan di Kaltim termasuk tinggi, karena adanya perhitungan dengan indikator yang menurutnya kurang tepat. Seperti misalnya, indikator terkait sanitasi seperti toilet, dan rumah dengan lantai kayu yang masuk kedalam kategori masyarakat miskin.
“Kalau masyarakat yang rumahnya di atas air, kebanyakan toiletnya tidak seperti yang di darat. Tapi terkadang bukan karena meeka orang tidak mampu, tapi ya memang begitu kondisinya,” kata dia.
Ia menilai, banyak masyarakat yang dikategorikan miskin, dengan adanya indikator yang tidak sesuai. Padahal, banyak dari mereka yang sebenarnya mempunyai kemampuan ekonomi yang baik.
Apalagi masyarakat yang tinggal di kawasan hulu. Kepemilikan jamban masih hal yang lumrah bagi yang memiliki rumah di pinggir sungai, meski rumah-rumah di sana memiliki toilet sendiri. Mandi di jamban seperti menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditinggal begitu saja, dan alternatif ketika PDAM mati.
Maka menurutnya, perlu ada kesepakatan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pemerintah Kaltim terkait pengkategorian masyarakat miskin yang ada di Kaltim.
“Kalau untuk yang benar-benar tidak mampu, dilihat dari kondisi rumahnya. Kita kan ada program bedah rumah, itu bisa jadi siasat untuk menurunkan angka kemiskinan berdasarkan penilaian indikator tempat tinggal,” pungkasnya. (adv/dprdkaltim/nur)
Penulis: Nuraini
Editor: Devi Nila Sari