Rupanya, dampak OCD bisa sangat luas, mulai dari keterlambatan sekolah, pekerjaan, hingga mengganggu hubungan sosial.
Kaltim.akurasi.id, Bontang – Melakukan kebiasaan berulang seringkali dianggap hal yang aneh dan sepele. Padahal kenyataannya tindakan ini merupakan cara bertahan dari rasa takut yang sulit untuk dijelaskan. Perasaan ini bisa jadi merupakan gejala Obsessive Compulsive Disorder (OCD).
Menurut Psikiater RSUD Taman Husada Bontang, dr. Dewi Maharni, M.Sc., Sp.KJ, OCD merupakan penyakit mental yang termasuk dalam kategori gangguan kecemasan. Penyakit ini ditandai oleh pikiran obsesif (obsession) dan perilaku kompulsif (compulsion) yang dilakukan secara berulang-ulang dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
“OCD itu termasuk penyakit mental yang bentuknya bisa berupa pikiran yang terus-menerus mengganggu, atau disertai perilaku berulang yang dilakukan untuk meredakan kecemasan,” terang dr. Dewi kepada Akurasi.id, belum lama ini.
Ia menjelaskan bahwa pasien OCD sering merasa cemas jika tidak melakukan suatu tindakan tertentu. Misalnya, seseorang merasa tangannya kotor dan harus terus mencuci tangan. Jika tidak dilakukan, timbul rasa tidak nyaman, gelisah, hingga sulit melakukan aktivitas lain.
“Contohnya ya, ada yang merasa harus cuci tangan terus karena merasa belum bersih. Atau sampai ada yang melakukan wudhu berulang karena merasa belum sempurna, akhirnya solatnya terlambat,” tambahnya.
Dampak OCD bisa sangat luas, mulai dari keterlambatan sekolah, pekerjaan, hingga mengganggu hubungan sosial. Bahkan dalam aktivitas religius seperti salat, ada pasien yang merasa wudhunya tidak sempurna sehingga terus mengulanginya dan akhirnya tertinggal salat. Tak hanya itu, perilaku kompulsif juga umum terjadi pada ibu rumah tangga.
“Misalnya sebelum pergi, dia merasa belum mematikan kompor. Sudah keluar rumah, balik lagi. Baru melangkah sedikit, balik lagi karena khawatir kompornya masih menyala. Akhirnya jadi sering terlambat ke acara atau kegiatan penting,” kata dr. Dewi.
Meski terdengar sepele, OCD bukan sekadar kebiasaan buruk atau sikap perfeksionis. Gangguan ini bisa membebani penderitanya secara emosional dan fisik, yang membedakan adalah intensitas dan dampaknya. Menurutnya kalau sudah mengganggu rutinitas dan menimbulkan cemas berlebihan, itu bukan lagi sekadar kebiasaan, tapi indikasi gangguan mental.
Ia juga menambahkan, OCD dapat ditangani dengan terapi psikologis dan, dalam beberapa kasus, penggunaan obat-obatan. Konsultasi ke psikiater menjadi langkah awal penting agar pasien mendapat penanganan tepat sesuai tingkat keparahan gejalanya.
Ia pun menekankan pentingnya edukasi dan kesadaran masyarakat untuk tidak menyepelekan gejala-gejala seperti ini.
“Masih banyak yang menganggap OCD itu cuma kelakuan aneh atau lucu. Padahal ini penyakit yang nyata dan butuh penanganan medis,” tegasnya.
RSUD Taman Husada Bontang sendiri terus berupaya membuka akses layanan psikiatri yang inklusif dan ramah. Klinik psikiatri di rumah sakit ini melayani pasien dengan berbagai jenis gangguan jiwa, termasuk OCD, depresi, dan gangguan kecemasan lainnya.
“Komitmen kami adalah membantu pemulihan pasien, bukan hanya dari sisi fisik, tapi juga mental. Karena keduanya saling berkaitan,” tutupnya. (adv/rsudtamanhusadabontang/cha/uci)
Penulis: Siti Rosidah More
Editor: Suci Surya Dewi