Sebagai Ibu Kota Provinsi Kaltim, pengamat nilai Samarinda masih berkutat pada persoalan lama, yakni pengelolaan sampah. Bahkan, rencana terbaru yang digagas DLH tentang jemput bola sampah pun dinilai belum mampu mengurai persoalan tersebut.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Pengelolaan sampah di Samarinda menuai sorotan. Tidak hanya soal gagalnya Samarinda raih Adipura Kencana karena masih semrawutnya pengelolaan sampah di Ibu Kota Provinsi Kaltim ini.
Pun, rencana Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda mengubah sistem pembuangan sampah dengan sistem jemput bola. Sehingga, petugas akan datang ke masing-masing rumah warga dinilai belum mampu menjadi solusi.
Pasalnya, sistem ini tidak gratis. Warga akan dikenakan biaya sekira Rp30 ribu sebulan. Sebagai informasi, usulan ini masih menunggu persetujuan dari Wali Kota Samarinda, Andi Harun.
Menurut Pengamat Ekonomi Purwadi Purwoharsojo, rencana ini justru tidak akan mengatasi akar masalah. Sebab, yang menjadi masalah adalah bagaimana pengelolaan sampah yang baik dari tempat pembuangan sementara (TPS) hingga tempat pembuatang akhir (TPA).
“DLH Samarinda masih berkutat pada soal-soal lama, yang dari dulu enggak selesai. Yaitu, tentang mengumpulkan sampah dengan rapi dan baik ke tempat pembuangan sampah akhir,” terangnya pada sebuah pesan singkat yang ditulis melalui aplikasi hijau, Senin (18/3/2024).
Selain itu, ia mengingatkan, sistem retribusi tidak dapat sembarang dilakukan. Jika salah langkah, maka dapat menjadi temuan pada tata kelola keuangan di masa depan.
Belum lagi biaya operasional yang semakin bertambah. Tentunya akan ada penambahan pengadaan truk sampah serta tenaga kerja. Hal ini dinilai bisa menjadi pemborosan apabila tidak terkelola dengan baik.
Di sisi lain, tanpa disadari akan ada kelompok masyarakat yang selama ini berprofesi menjadi pengumpul sampah kehilangan pekerjaannya. Karena telah digantikan oleh petugas DLH.
“Jadi, sekali lagi hati-hati jangan sampai gara-gara Rp30 ribu, ada org lain yang hilang sumber pendapatannya. Yang mungkin sudah bekerja bertahun-tahun,” tegasnya.
Retribusi Sampah Dinilai Tidak Bisa Menjadi Sumber Pendongkrak PAD
Selain soal sampah, ia menilai, jika pemerintah berencana hal ini untuk meningkatkan pendapat asli daerah (PAD). Maka, ini merupakan cara kerja yang mau gampangnya saja.
Daripada membebankan kepada rakyat. Sebenarnya ada APBD yang harus disiapkan. Sehingga, DLH dapat mengoptimalkan sampah jadi nilai ekonomis. Apalagi, APBD Samarinda pada 2024 mencapai Rp5,1 triliun.
“Kalau uangnya mungkin enggak seberapa untuk perorangan. Tapi, hati-hati bisa jadi pertanyaan publik selama ini APBD untuk apa? Artinya seolah olah pemerintah enggak punya duit untuk ngurusin sampah aja,” tutur Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unmul ini.
Keberpihakan anggaran dapat menjadi solusi untuk masalah ini. Sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam menangani sampah. “Kalau bilang serius, tapi enggak ada keberpihakan anggaran. Itu namanya omong kosong. Seperti sate jauh dari panggang, enggak pernah kelar permasalahan itu nantinya,” tambahnya.
Selain itu, tata kelola sampah ini harus dilakukan secara profesional. Serta, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Kota Tepian. Sehingga, menjadi peluang baru bagi masyarakat untuk terlibat dalam ekonomi kreatif. Ini baru dikatakan menyumbang untuk PAD Samarinda.
Terakhir, ia berpesan agar perusahaan daerah (perusda) ikut dilibatkan. Dapat diawali dengan program Bank Sampah. Sehingga, dapat menjadi bisnis bagi perusda.
Meskipun persoalan sampah bukan mutlak tanggung jawab pemerintah. Namun, pemerintah tetap harus memiliki intervensi terkait ini.
“Jangan dikit-dikit pungutan. Kayak enggak punya duit aja. Selama lima tahun kepemimpinan Andi Harun, DLH sudah dapat berapa sih anggaranya? Jangan jangan truk udah enggak mampu kapasitasnya. Ini rumit kalau dibiarkan berkelangsungan. Belum lagi masalah TPA kita, masih jadi masalah. Padahal mimpinya mau smart city, sudah lima tahun loh,” tutupnya. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Devi Nila Sari