Pemberian izin kampanye di lembaga pendidikan hingga pemerintahan menuai pro dan kontra. Ada pihak yang setuju dan tidak setuju atas pemberian izin tersebut.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemberian izin peserta pemilu melakukan kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Putusan itu termuat dalam putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala Sekolah SMA 3 Samarinda, Haji Raharjo. Ia menentang adanya pemberian izin untuk melakukan kampanye di sekolah.
Menurutnya, kampanye di sekolah hanya mengganggu jam pelajaran siswa yang seharusnya maksimal menjalankan kurikulum yang sudah ada. Termasuk, organisasi-organisasi atau ekskul yang diperbolehkan.
“Dari Peraturan Menteri Pendidikan nasionalnasional (Permendiknas) ada menyatakan, organnya organisasi yang boleh diikuti di sekolah itu hanya OSIS dengan MPK. Jika siswa mengikuti organisasi luar, kami cegah. Apalagi kampanye sampai ke sekolah, karena masanya pendidikan di sekolah,” ungkapnya, belum lama ini.
Pengamat: Izin Kampanye di Sekolah Harus Dipandang Positif
Sementara itu, Pengamat Politik Mohammad Taufik dari Fakultas Fisipo Unmul menyambut baik keputusan. Bahkan, memandang putusan ini sebagai terobosan.
Menurutnya, lembaga pendidikan seperti SMA dan kampus harus memberikan pendidikan politik dengan izin sesuai keputusan MK. Atribut kampanye tidak diizinkan menurut Taufik.
Hanya saja, ia juga mengakui, bahwa keputusan MK menimbulkan kontroversi. Sebab, muncul pertanyaan bagaimana menghindari gangguan pada pembelajaran jika atribut kampanye digunakan di lembaga pendidikan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa biaya kampanye bisa meningkat karena atribut kampanye harus dicetak lebih banyak.
Meskipun kontroversial, kata dia, putusan MK ini adalah langkah maju dalam demokrasi Indonesia. Ini menunjukkan komitmen negara dalam melindungi hak asasi manusia untuk berkumpul dan berserikat dalam kampanye pemilu.
“Keputusan MK berarti harus dilaksanakan. Artinya, dulu menjadi larangan dan sekarang diperbolehkan untuk berkampanye di lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan,” tambah Taufik, Senin (28/8/2023).
Ia menggarisbawahi, penting bagi masyarakat untuk memandang positif langkah ini. Kemudian, kampus perlu membiasakan diri dengan kegiatan politik agar tidak mengalami ketidaknyamanan.
“Kita harus berfikir positif. Dengan dilaksanakan di tempat-tempat pendidikan terutama kampus, agar kampus tidak alergi dengan kegiatan-kegiatan politik,” tutupnya.
Sebagai informasi, MK telah merevisi materi pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu.
Pasal itu diubah menjadi, “Pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.” (*)
Penulis: Bintang Sabaruddin Syukur
Editor: Devi Nila Sari