Isu libur sekolah saat puasa mencuat, namun pengamat pendidikan menyarankan pesantren Ramadan sebagai alternatif untuk pembentukan karakter siswa tanpa mengganggu kalender akademik.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Masyarakat Indonesia tengah diramaikan dengan isu libur sekolah satu bulan penuh selama bulan puasa mendatang. Isu ini mencuat setelah Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menyampaikan pernyataan terkait rencana tersebut.
Namun, isu ini langsung dibantah oleh Komunikasi Digital Indonesia (Komdigi) RI. Dalam laman web resmi mereka, disebutkan bahwa berita tersebut hanyalah kabar burung semata, karena hingga kini belum ada pernyataan resmi dari Presiden RI, Prabowo Subianto, maupun Nasaruddin Umar.
Terkait wacana tersebut, Pengamat Pendidikan dari Universitas Mulawarman, Susilo, memberikan sejumlah catatan penting. Menurutnya, jika sekolah diliburkan satu bulan penuh, hal ini dapat berbenturan dengan kalender akademik dan menghambat capaian target yang ditetapkan oleh guru.
“Kalau libur sepanjang itu, bisa menghambat capaian target guru,” ujar Susilo saat dihubungi melalui telepon pada Rabu (1/1/2025).
Namun, Susilo juga melihat bahwa rencana libur tersebut memiliki sisi positif dalam pembenahan karakter siswa. Wacana ini muncul karena dianggap kurangnya pendidikan agama di kalangan sekolah umum. Namun, ia mengingatkan bahwa rencana ini bisa menimbulkan masalah, seperti protes dari pihak-pihak lain yang menginginkan kesetaraan antaragama.
“Tak perlu libur selama satu bulan untuk perbaikan budi pekerti. Bisa saja diberlakukan pesantren Ramadan,” jelasnya.
Susilo mengusulkan agar jam pelajaran umum dipersingkat, misalnya hingga pukul 11.00, lalu dilanjutkan dengan pelajaran agama hingga sore. Ia juga menekankan bahwa pesantren Ramadan harus melibatkan interaksi aktif dalam kegiatan keagamaan, bukan hanya materi teori.
“Siswa harus lebih banyak berpraktik, jangan hanya diberi materi. Kalau hanya diberi sedikit, takutnya nanti mereka merasa benar sendiri,” tambahnya.
Pesantren Ramadan ini, menurut Susilo, bisa dilakukan di sekolah-sekolah umum, bukan hanya di pondok pesantren, sebagai alternatif yang lebih inklusif dalam pembentukan karakter agama siswa. (*)
Penulis: Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Redaksi Akurasi.id