Lonjakan Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Samarinda: Pemulihan Lambat, Penanganan Perlu Perbaikan

Fajri
By
3 Views
Foto: Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. (Istimewa)

Kasus kekerasan seksual pada anak di Samarinda terus meningkat setiap tahun. Psikolog menekankan pentingnya pendekatan khusus untuk memulihkan trauma anak korban kekerasan seksual melalui asesmen, konseling, hingga kolaborasi lintas instansi.

Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Kasus kekerasan seksual pada anak di Kota Samarinda terus menjadi isu serius yang membutuhkan penanganan menyeluruh. Angka kasus ini terus meningkat setiap tahunnya.

Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Kota Samarinda mencatat, pada 2020 terdapat 154 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pada 2021, jumlah kasus menurun menjadi 133, namun kembali meningkat pada 2022 dengan 182 kasus, dan bertambah menjadi 189 kasus di tahun 2023.

Jumlah korban pada 2023 mencapai 230 orang, terdiri dari 93 korban laki-laki dan 137 korban perempuan. Hingga Juni 2024, tercatat sudah ada 89 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terlapor di Kota Samarinda.

Pendampingan Psikologis dan Penanganan Trauma Anak

Koordinator Psikolog di UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Samarinda, Ayunda Ramdhani, mengungkapkan pihaknya menangani kasus kekerasan seksual pada anak hampir setiap hari.

“Langkah yang kami lakukan adalah pendampingan psikologis untuk mencegah masalah psikologis yang lebih berat pada anak korban kekerasan,” jelas Ayunda.

Pendampingan diawali dengan asesmen psikologis guna mengukur tingkat trauma yang dialami anak dan mengidentifikasi potensi gangguan psikologis lainnya. Metode yang digunakan meliputi wawancara dan observasi. Berdasarkan hasil asesmen, konseling dilakukan dengan menyesuaikan usia dan tingkat pemahaman anak.

“Pada kasus yang lebih kompleks, kami menggunakan pendekatan psikoterapi bermain untuk membantu anak-anak yang lebih kecil,” tambahnya.

Kolaborasi Lintas Instansi untuk Pemulihan Anak

Ayunda menjelaskan, UPTD PPA bekerja sama dengan Dinas Sosial jika korban membutuhkan perlindungan rumah, terutama ketika pelaku kekerasan adalah anggota keluarga. Selain itu, UPTD PPA juga berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan pihak terkait lainnya.

“Tantangan terbesar adalah membangun kepercayaan dengan anak korban. Untuk itu, kami sering menggunakan elemen bermain, seperti membawa alat tulis atau mainan, untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka,” tutur Ayunda.

Proses pemulihan anak korban kekerasan seksual membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Jika konseling orang dewasa biasanya selesai dalam 3–5 sesi, pendampingan untuk anak bisa memakan waktu lebih lama.

“Anak-anak masih dalam tahap perkembangan berpikir, sehingga pendekatannya harus lebih sabar dan kreatif,” jelasnya.

Dukungan Psikiater untuk Kasus Berat

Ayunda menambahkan, dalam kasus berat, seperti anak yang mengalami gangguan tidur atau menunjukkan tanda-tanda percobaan bunuh diri, psikiater sering kali dilibatkan untuk memberikan penanganan medis yang diperlukan.

Dia menegaskan pentingnya kolaborasi lintas instansi agar pemulihan anak dapat berjalan optimal. Selain memberikan perlindungan fisik, hak pendidikan dan kesehatan anak korban juga harus tetap terjamin.

“Kami sering menangani kasus anak yang mengalami gangguan tidur berat hingga menunjukkan tanda-tanda percobaan bunuh diri. Dalam situasi seperti itu, kami tidak bisa bekerja sendiri. Psikiater sering kali dilibatkan untuk memberikan penanganan medis yang diperlukan,” tutupnya. (*)

Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *