Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Samarinda berencana menerapkan retribusi parkir tepi jalan yang akan dibebankan kepada pengusaha.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Tumbuhnya pengusaha di Kota Tepian membawa angin segar bagi geliat ekonomi. Namun, di balik itu, muncul permasalahan baru terkait ketersediaan lahan parkir. Hal ini terlihat dari banyaknya pengunjung tempat hiburan malam (THM) yang memarkirkan kendaraannya di tepi jalan, membuka peluang bagi juru parkir liar.
Menanggapi hal tersebut, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Samarinda berencana menerapkan retribusi parkir tepi jalan yang akan dibebankan kepada pengusaha THM.
“Kami mengajak pengusaha untuk bertanggung jawab atas parkir kendaraan pengunjung mereka di tepi jalan karena tidak terpenuhinya aturan perparkiran,” ujar Kepala Dishub Kota Samarinda, Hotmarulitua Manalu, di Samarinda, belum lama ini.
Kebijakan ini telah dibahas dalam rapat bersama beberapa pengusaha, seperti Erafone, Indomaret, Dejavu, Celcius, Crown, Happy Puppy, dan Mama Suka. Dishub juga akan menelusuri usaha-usaha lain yang memiliki kekurangan lahan parkir.
Seperti yang diketahui beberapa usaha tersebut terletak di pinggir jalan. Misalnya, Erafone, Happy Puppy, dan Mama Suka yang terletak di Jalan Pangeran Antasari. Dejavu yang terletak di Jalan Panglima Batur. Celcius beralamatkan di Jalan Gatot Subroto. Dan Crown Pub dan KTV Samarinda yang terletak di Jalan Imam Bonjol.
“Nantinya, pengusaha THM yang akan membayar retribusi parkir tepi jalan, dan juru parkir resmi akan mendapatkan karcis dari Dishub,” jelas Manalu.
Ia menghimbau masyarakat untuk meminta karcis parkir saat memarkirkan kendaraannya. Retribusi parkir tepi jalan untuk kendaraan roda empat dipatok Rp5 ribu.
Hal ini sebelumnya sudah diterapkan lebih dulu oleh Rumah Makan Sabindo yang terletak di Jalan Pembangunan. Rumah makan tersebut setiap bulannya harus merogoh kocek sebesar Rp1, 8 juta. Karena lahan yang harusnya untuk parkir kendaraan pengunjung justru digunak untuk meja tempat makan.
“Pengunjungnya jadi parkir di trotoar. Hal ini terjadi karena faktor okupansi dan mereka membayar retribusi Rp 1,8 juta per bulan,” kata Manalu. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Redaksi Akurasi.id