Pembentukan TGUPP Kaltim menuai kritik. Pengamat menduga tim ini sarat kepentingan politik dan jadi ajang balas budi Pilgub 2024.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Hingga kini, susunan nama anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Kaltim masih belum diumumkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud dan Seno Aji. Kondisi ini memicu spekulasi publik, khususnya dari kalangan pengamat, terkait alasan di balik belum diungkapkannya nama-nama yang akan mengisi posisi strategis tersebut.
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas Mulawarman (Unmul), Saipul Bachtiar, menduga pembentukan TGUPP sarat dengan kepentingan politik. Ia menilai, tim ini dibentuk untuk mengakomodasi pihak-pihak yang dianggap berjasa dalam kemenangan pasangan Rudy-Seno pada Pilgub Kaltim 2024 lalu.
“Tim ini dibentuk secara tidak transparan. Dugaan saya, ini upaya mengakomodasi orang-orang yang dianggap berjasa saat Pilgub 2024. Mereka nanti akan ditempatkan di dalam struktur tim tersebut,” ujar Saipul kepada Akurasi.id.
Menurutnya, TGUPP berpotensi menjadi wadah balas budi politik bagi kelompok-kelompok yang turut berkontribusi selama masa kampanye. Proses seleksi anggota yang tertutup semakin menguatkan asumsi bahwa pembentukan TGUPP lebih didasarkan pada kepentingan politik ketimbang profesionalisme.
Selain itu, Saipul juga menyoroti soal anggaran yang digunakan untuk membiayai operasional TGUPP. Jika bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim, maka hal ini patut dipertanyakan, apalagi dalam situasi fiskal daerah yang sedang mengalami pengetatan.
“Dari awal sudah tidak transparan. Masyarakat berhak tahu sumber anggarannya, urgensinya, siapa saja personelnya, serta tugas dan target yang ingin dicapai,” tegasnya.
Ia menambahkan, pembentukan tim besar seperti ini di tengah pemangkasan anggaran di sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum justru terkesan sebagai bentuk pemborosan.
Terlebih, berdasarkan informasi yang beredar, jumlah anggota TGUPP Kaltim mencapai 28 orang. Angka tersebut dinilai terlalu besar untuk ukuran sebuah tim yang seharusnya bersifat strategis dan efisien.
“Dengan jumlah sebanyak itu, saya melihat ini bukan tim strategis. Ini lebih condong sebagai tim politik yang dibentuk untuk mengakomodasi para pendukung saat Pilgub kemarin,” ujarnya.
Ia menyarankan, bila memang tujuannya ingin membentuk tim yang efektif, cukup melibatkan 5 hingga 9 orang saja, asalkan kompeten dan sesuai bidangnya.
“Kalau tim dibentuk secara profesional dan transparan, masyarakat juga akan melihatnya sebagai langkah strategis. Tapi kalau diam-diam, tanpa kejelasan anggaran dan tujuan, itu patut dipertanyakan,” tambahnya.
Saipul juga menilai, pembentukan tim besar semacam ini justru dapat memperkuat anggapan bahwa kepala daerah terpilih tidak memiliki kapasitas cukup untuk mengelola pemerintahan secara langsung.
“Kalau terlalu bergantung pada tim, apalagi tim besar yang sarat kepentingan politik, itu bisa dipersepsikan sebagai ketidakmampuan gubernur dan wakil gubernur dalam menjalankan pemerintahan. Jangan sampai hanya jadi simbol kemenangan politik, tapi kosong dalam manajemen pemerintahan,” katanya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id