Pengamat meminta mempertimbangkan kembali pemberlakuan Tapera. Pasalnya, pemberlakuan Tapera dinilai membebani pekerja
Kaltim.akurasi, Bontang – Pengamat Ekonomi Pembangunan Universitas Mulawarman Purwadi Purwoharsojo menilai iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang direncanakan pemerintah lebih baik ditunda atau dihapus saja. Sebab, hanya akan menambah beban masyarakat.
Menurutnya, program tersebut tidak jelas peruntukan dan perencanaannya. Selain itu banyak dikeluhkan oleh masyarakat, akibat yang dirasakan akan semakin mencekik perekonomian, khususnya masyarakat menengah kebawah.
“Baik Pegawai Negeri Sipil ataupun Swasta akan kena dampaknya. Penarikan iuran yang ditarik dari masyarakat sebanyak 3% dari penghasiln mereka itu harusnya bisa digunakan untuk kebutuhan mereka yang lain,” ungkapnya kepada wartawan Akurasi.id, Rabu (29/5/2024).
Ia mengungkapkan, masyarakat sudah cukup terbebani dengan berbagai iuran lain seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sehat (BPJS) Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Potongan Pajak Penghasilan (PPh) dan lainnya. Maka, pemerintah seharusnya tidak terus-terusan membuat program yang dibebankn kepada masyarakat.
“Upah Minimum Provinsi (UMP) kita saja masih pas-pasan kasian kalau masih harus dipotong terus,” katanya.
Apalagi, program serupa sudah pernah dilakukan yakni penarikan dana rumah bagi PNS, yang hingga kini menurut Purwadi juga tidak tuntas. “Sampai sekarang juga masih ada PNS yang belum mendapatkan rumah, lebih baik program terdahulu dituntaskan dulu deh” ujarnya.
Kemudian infrastruktur yang ada juga dinilai tidak siap untuk melaksanakan program Tapera. Pengelolaan dana, tipe rumah yang akan dibangun, lokasi rumah, dan kapan iuran seseorang itu bisa dijadikan rumah, semua hal tersebut baginya perlu menjadi catatan pemerintah.
“Jaman sekarang ini properti mahal, untuk masyarakt yang iurannya kecil berapa tahun baru jadi rumahnya,” kata Purwadi.
Lanjut ia mengatakan, penarikan Tapera akan mempengaruhi daya beli masyarakat menengah kebawah semakin lemah. Di mana, hal itu dapat mempengaruhi penjualan dunia usaha dan menyeret pertumbuhan ekonomi. “Perlu dikaji ulang. Lebih baik programnya ditunda atau dihapus saja, masyarakat belum siap,” tuturnya.
Pemerintah ia nilai lebih baik berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Saat ini, ekonomi Indonesia masih stuck di angka 5 persen, dari yang telah dijanjikan naik menjadi 7 persen.
Terkait Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dianggap telah menjadi tenggungan negara. Di Kalimantan Timur (Kaltim) sendiri, ia menyebutkan dana CSR perusahaan cukup tinggi, untuk membantu menuntaskan permasalahan RTLH.
“Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang juga harus punya data yang konkret terkait data RTLH di seluruh Indonesia hingga ke Kabupaten/Kota, jangan sampai jadi seperti subsidi tidak tepat sasaran ” pungkasnya. (*)
Penulis: Nuraini
Editor: Redaksi Akurasi.id