Menurut Disdikbu Samarinda, setidaknya perlu 3 ribu angkot untuk mengangkut siswa. Guna menerapkan aturan ini secara utuh.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Larangan pelajar tanpa SIM bawa motor menimbulkan tantangan baru. Di satu sisi kebijakan ini dinilai baik, sebagai langkah penegakan hukum dan mengantisipasi aksi ugal-ugalan di kalangan pelajar.
Namun, di sisi lain perlu solusi lain atau alternatif dalam menerapkan aturan ini secara utuh. Mengingat transportasi umum Samarinda dinilai belum mampu untuk memenuhi kebutuhan siswa sekolah.
Sebaagi informasi, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Samarinda beberapa waktu lalu mengeluarkan Surat Edaran Nomor 500.11.1/021/100.05 yang melarang pelajar tingkat SMP dan SMA sederajat. Belum berusia 17 tahun serta tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) untuk membawa kendaraan bermotor ke sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Samarinda, Asli Nuryadin menyatakan, tantangan besar yang akan muncul jika aturan tersebut diterapkan secara tegas harus menyiapkan moda transportasi alternatif bagi siswa.
“Kalau mereka tidak boleh membawa motor, berarti harus naik angkutan umum. Tapi, bagaimana kapasitas angkot kita? Jumlah siswa SMP Kota Samarinda saja sekitar 30 ribu orang. Kalau setiap angkot bisa mengangkut 10 orang, kita butuh 3.000 angkot,” jelas Asli.
Disdikbud Samarinda Pastikan Ikut Merumuskan Langkah Alternatif Transportasi Siswa
Ia menyebut, penggunaan bus dengan kapasitas 25 orang per bus, dibutuhkan setidaknya 640 bus untuk memenuhi kebutuhan transportasi siswa SMP saja. Jumlah ini belum termasuk siswa SD yang mencapai sekitar 60 ribu orang.
“Tentu ini menjadi tantangan besar. Kita harus memastikan ada perencanaan yang matang agar aturan ini tidak menimbulkan masalah baru, seperti kemacetan atau biaya tambahan bagi orang tua,” tegasnya.
Meski demikian, Asli Nuryadin menegaskan, bahwa kebijakan ini sejalan dengan peraturan usia minimal untuk memiliki SIM, yaitu 17 tahun. Ia juga mengingatkan, bahwa sekolah telah memahami aturan tersebut dan diharapkan dapat berperan dalam mendukung pelaksanaannya.
“Kalau masih di bawah usia itu, tentu tidak boleh. Masa saya menyuruh boleh? Sekolah juga sudah tahu aturannya,” ujar Asli.
Ia menambahkan, pihaknya akan segera merumuskan langkah strategis untuk memastikan siswa tetap dapat bersekolah dengan aman dan nyaman tanpa melanggar aturan yang berlaku.
“Setiap kebijakan pasti memiliki kekurangan. Yang penting adalah meminimalkan dampaknya. Kami akan bekerja sama dengan pihak terkait untuk mencari solusi terbaik,” tutupnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Devi Nila Sari