Pengesahan revisi UU Minerba yang memberi izin perguruan tinggi mengelola tambang menuai kritik. Akademisi menilai kebijakan ini berpotensi mengancam independensi ilmiah dan membuka celah konflik kepentingan dengan industri tambang.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyetujui perguruan tinggi untuk mengelola tambang. Aturan tersebut disahkan dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang disetujui dalam rapat paripurna pada Selasa (18/2/2025). Keputusan ini menuai beragam respons, termasuk dari kalangan akademisi.
Salah satu kritik datang dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah. Ia menilai kebijakan tersebut memiliki dua motif utama yang patut dikritisi.
Menurutnya, kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk menundukkan kampus. Dengan keterlibatan dalam industri tambang, perguruan tinggi bisa terjebak dalam konflik kepentingan karena turut menikmati manfaat dari bisnis ekstraksi sumber daya alam tersebut.
“Kampus bisa dijadikan mesin reproduksi pengetahuan yang seolah-olah menampilkan industri pertambangan sebagai sesuatu yang bermanfaat, padahal banyak dampak negatifnya,” ujarnya dalam pernyataan tertulis yang diterima media ini, Jumat (21/2/2025).
Herdiansyah menambahkan, independensi dan objektivitas akademik bisa terancam, terutama jika ada kepentingan industri tambang yang bertentangan dengan prinsip ilmiah dan transisi energi berkelanjutan.
Senada dengan Herdiansyah, Sartika Nur Shalati, Policy Strategist dari CERAH, menilai kebijakan ini sebagai upaya membungkam perguruan tinggi. Ia menjelaskan bahwa meskipun kampus tidak diberikan wewenang langsung untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Pasal 169A ayat 3 menyebutkan bahwa sebagian keuntungan dari tambang akan diberikan kepada perguruan tinggi melalui kerja sama.
“Ini membuka peluang bagi perusahaan tambang untuk memengaruhi kebijakan kampus, terutama di tengah pemangkasan anggaran pendidikan oleh Presiden RI Prabowo Subianto,” tambahnya.
Menurutnya, dengan beban operasional kampus yang meningkat akibat pemangkasan anggaran, ada potensi besar bagi industri tambang untuk memanfaatkan kondisi ini demi kepentingan mereka.
Padahal, perguruan tinggi memiliki tiga pilar utama dalam Tridarma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Peran ini menuntut kampus untuk tetap menjaga integritas akademik dan bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat.
Di sisi lain, dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan perusahaan swasta yang berfokus pada batu bara dapat menghambat transisi ke energi terbarukan. Ketergantungan terhadap industri tambang berisiko menghambat pengembangan penelitian terkait energi terbarukan akibat keterbatasan sumber daya dan potensi konflik kepentingan dengan mitra industri.
Sementara itu, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menilai revisi UU Minerba ini berpotensi mengulang era “jor-joran” izin tambang yang tidak terkendali. Ia mengkritik pasal yang memberikan prioritas WIUP dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada koperasi dan UMKM tanpa mekanisme lelang yang ketat.
“Pemerintah dan DPR seolah tidak belajar dari pengalaman buruk pengelolaan pertambangan satu dekade lalu. Banyak izin tambang yang tidak memenuhi kewajiban keuangan, seperti pajak, royalti, dan landrent, serta kewajiban lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), jaminan reklamasi, dan pascatambang,” tegasnya.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah dalam sektor pertambangan. Hingga saat ini, publik belum mendapatkan kejelasan mengenai progres pembentukan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Pemberian WIUP dan WIUPK dalam UU Minerba 4/2009 menggunakan mekanisme lelang untuk memastikan aspek teknis, lingkungan, dan keuangan terpenuhi guna menghindari risiko yang tidak terkendali. Sayangnya, revisi ini justru berisiko membuka kembali celah yang seharusnya sudah ditutup,” katanya. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Redaksi Akurasi.id