Minimnya pendidikan seks yang ramah anak membuat banyak anak tak paham batasan tubuhnya sendiri. Di Bontang, puluhan kasus kekerasan seksual tercatat hanya dalam empat bulan. UPTD PPA mendesak pendidikan seks masuk kurikulum sebagai langkah perlindungan anak sejak dini.
Kaltim.akurasi.id, Bontang – Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi persoalan yang semakin mengkhawatirkan. Salah satu akar permasalahan ialah minimnya pemahaman anak tentang batasan tubuh dan privasi diri.
Sayangnya, edukasi seksual sejak dini masih kerap dianggap tabu, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah.
Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Bontang, Sukmawati, mengungkapkan bahwa sepanjang Januari hingga April 2025, pihaknya telah menerima sekitar 30 laporan kekerasan seksual terhadap anak. Angka ini dinilai sebagai alarm penting perlunya pendekatan edukatif yang lebih menyeluruh.
“Salah satu penyebabnya adalah anak-anak tidak tahu bahwa tubuh mereka memiliki area privat yang tidak boleh disentuh orang lain. Ini karena mereka memang tidak pernah diajari secara langsung, baik di rumah maupun di sekolah,” ujarnya saat ditemui, Selasa (27/5/2025).
Sukmawati menegaskan, pendidikan seks yang ramah anak bukan berarti memberikan informasi vulgar. Sebaliknya, ini adalah upaya mengenalkan pemahaman dasar tentang tubuh, rasa aman, dan perlindungan diri.
“Pendidikan seks ini masih menjadi topik yang ‘takut’ dibahas. Padahal, kalau dikemas dengan pendekatan sesuai usia, justru sangat membantu anak memahami risiko serta cara melindungi diri,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya integrasi pendidikan seks ramah anak ke dalam kurikulum formal, mulai dari tingkat SD hingga SMA. Usulan ini, kata dia, sudah berulang kali disampaikan dalam forum bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, kementerian menyatakan kewenangan kurikulum berada di tangan Kementerian Pendidikan.
“Saya berharap Kementerian Pendidikan bisa menggandeng psikolog anak dalam menyusun modul yang tepat. Ini bukan hanya tanggung jawab UPTD saja, tapi tanggung jawab bersama,” tegasnya.
Selama ini, UPTD PPA Kota Bontang hanya mampu melakukan sosialisasi setiap tiga bulan sekali, dengan wilayah sasaran berbeda. Sukmawati mengakui, keterbatasan waktu dan cakupan membuat pesan edukasi tidak selalu terserap maksimal oleh anak-anak.
“Anak-anak sering cepat bosan kalau hanya diberi materi dua jam. Karena itu, sebaiknya pendidikan ini masuk dalam pembelajaran rutin agar mereka bisa belajar secara bertahap dan lebih mendalam,” tambahnya.
Ia menegaskan, upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja. Jika pembahasan soal seks terus dianggap tabu, ruang kosong itu justru akan diisi oleh informasi liar dari internet yang membahayakan perkembangan anak.
“Penting sekali memberikan pemahaman sejak anak berada di kelas 4 SD hingga SMA. Ini merupakan langkah awal mitigasi perlindungan anak melalui pendidikan yang tepat,” jelasnya. (*)
Penulis: Dwi Kurniawan Nugroho
Editor: Redaksi Akurasi.id