Lahan digusur, warga dikriminalisasi, HGB terbit tanpa suara. Warga Telemow bertanya; di mana keadilan saat tanah warisan berubah jadi perkara?
Kaltim.akurasi.id, Penajam Paser Utara – Sudah satu pekan berlalu sejak lahan-lahan sawit, karet, dan tanaman buah milik warga Desa Telemow—dahulu dikenal sebagai Selong Itik—digusur oleh PT International Timber Corporation In Indonesia Kartika Utama (PT ITCI KU). Penggusuran itu terjadi di tengah proses persidangan terhadap empat warga yang dikriminalisasi atas tuduhan penyerobotan lahan dan pengancaman.
M (45), salah seorang warga, mengungkapkan bahwa ia telah membeli lahan tersebut sejak 20 tahun lalu tanpa pernah mengalami masalah. Namun, secara tiba-tiba, terbit Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya.
“HGB ini seperti turun dari langit. Kami pun bertanya-tanya kenapa bisa terbit. Dulu, sebelum dikuasai perusahaan, kawasan ini disebut Selong Itik, bukan Panca Karya,” katanya, Jumat (18/05/2025).
Pasca penggusuran pada 8 Mei 2025, akses menuju lahannya kini diblokir tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. “Jalan ke kebun kami dipalang. Tanaman warga pun buah-buahnya dirusak. Tidak ada sosialisasi, tahu-tahu muncul saja HGB itu,” ujarnya.
Ia bahkan mengaku saat hendak berkebun dan membawa parang, ia dituduh mengancam pihak perusahaan. Ia menduga hal itu merupakan bagian dari jebakan untuk menjerat warga lainnya.
“Kalau ke kebun ya memang bawa parang. Tapi kami malah dianggap mengancam. Sepertinya ini jebakan agar ada warga lain yang dikriminalisasi,” ungkapnya.
Sementara itu, warga lainnya, S (40), mengaku kebunnya telah digusur rata dengan tanah. Ia mengungkapkan rasa sedihnya karena kebun itu merupakan satu-satunya sumber penghidupan mereka.
“Kami hanya berharap bisa berkebun dan melanjutkan hidup. Kami ingin HGB itu dicabut,” harapnya.
Berdasarkan informasi dari humas perusahaan yang diterima S, penggusuran akan mencakup lahan seluas 30 hektare. Saat ini, penggusuran sudah sampai di KM 3,5, tepat di seberang Desa Telemow.
“Saya dapat informasi dari humas dan operator bahwa sawit di seberang sudah diberi ganti rugi tanam tumbuh. Tapi tidak semua warga tahu,” tuturnya.
S juga menyebut bahwa pada Juni mendatang, Puskesmas yang sebelumnya bersengketa juga akan dipindahkan ke Desa Binuang karena lahannya akan digunakan oleh perusahaan.
“Puskesmas dekat kantor desa itu katanya akan dipindah karena lahannya juga akan diambil,” ujarnya.
Ia memperkirakan lahan yang telah digusur mencapai 28 hektare, milik 10 warga yang menanam karet, sawit, dan tanaman buah.
“Kebun ini satu-satunya harapan kami untuk menghidupi keluarga. Kalau sudah digusur, kami tidak punya apa-apa lagi. Kami tidak ingin hidup dalam ketakutan seperti ini,” ujarnya.
Penggusuran Diduga Upaya Kriminalisasi Lanjutan
Penasihat hukum tiga terdakwa—Syahrudin, Syafarudin, dan Rudiansyah—yaitu Fathul Huda, menyebut bahwa penggusuran ini kuat diduga sebagai upaya mencari target kriminalisasi baru. Ia menjelaskan bahwa selama dua bulan proses persidangan berjalan, bukti-bukti justru melemahkan tuduhan terhadap kliennya.
“Dengan adanya penggusuran, mereka memancing kemarahan warga. Semakin banyak yang bereaksi, semakin banyak yang bisa dikriminalisasi. Ini trik,” tegasnya.
Dalam persidangan kasus pengancaman, terdakwa dituduh mengucapkan kalimat “Kamu adalah pendatang, kupecahkan kepala kau” kepada Nikolay Aprilindo. Namun, menurut Fathul, itu merupakan reaksi spontan saat RDP dengan DPRD PPU pada 2023.
“Terkait dugaan melempar mic, hanya satu saksi yang mengaku melihat. Padahal saksi lain mengatakan tidak ada mic, hanya monitor. Jika hanya satu saksi, tidak cukup dalam hukum pidana,” jelasnya.
Ia juga menyebut tuduhan mengancam dengan parang berasal dari informasi humas dan security perusahaan. Namun dalam persidangan, saksi dari security menyatakan tidak pernah menyampaikan hal itu dalam BAP. Bahkan, beberapa saksi telah mencabut laporannya.
Dugaan Cacat Hukum dalam Penerbitan HGB
Dalam perkara penyerobotan lahan, saksi yang dihadirkan jaksa berasal dari ATR/BPN Kaltim dan baru bertugas sejak 2018. Padahal, pengukuran HGB dilakukan pada 2014. Fathul merujuk pada PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai, bahwa permohonan perpanjangan harus diajukan dua tahun sebelum HGB berakhir.
“Permohonan diajukan September 2013, tapi HGB tahun 1993 sudah berakhir saat itu juga. Ini cacat. Bahkan warga desa baru tahu HGB itu muncul pada 2017,” katanya.
Ia juga menyoroti kejanggalan dokumen yang mencantumkan tanda tangan RT dan lurah, termasuk RT 14 yang seharusnya dijabat Ibu Muna sejak 1993, namun ditandatangani orang bernama Sugeng.
“Surat undangan pengukuran hanya bermaterai dan distempel tanpa nama. Berita acara pun tidak ditandatangani oleh semua pihak, termasuk yang berbatasan langsung,” ungkapnya.
Kritik Terhadap Proses Persidangan
Fathul juga menyoroti sikap majelis hakim yang dianggap tidak netral. Ia mengaku hakim pernah melontarkan pernyataan yang tidak pantas dan terkesan berpihak pada perusahaan.
“Hakim bahkan berkata, ‘Kalau lama-lama nanti terdakwa lama dilepaskan’. Kami khawatir ada tekanan dari pihak luar atau relasi dengan perusahaan,” katanya.
Ia juga menyayangkan adanya perbedaan perlakuan terhadap saksi pelapor, Nikolay, yang mendapat pengawalan ketat. Padahal dalam sidang sebelumnya, ia sempat tidak hadir dengan alasan tugas negara.
Tuntutan Evaluasi dan Tindakan Presiden
Fathul mendesak ATR/BPN segera mengevaluasi penerbitan HGB PT ITCI KU. Ia juga meminta Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan dan tidak membiarkan praktik semena-mena terus terjadi.
“Jika tidak berani bertindak, berarti kalah dengan adik sendiri. Hak warga Desa Telemow adalah hak warga negara, bukan milik Hashim. Kami minta keadilan ditegakkan,” jelasnya. (*)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id