Ditulis oleh: Asnawati Abdullah
GAS melon, sampai saat ini masih menjadi buruan emak-emak di Indonesia. Kelangkaan dan kenaikan harga masih menjadi polemik tak berkesudahan. Mirisnya kondisi ini terjadi di negeri yang kaya sumber daya alam dan energi (SDAE).
Mengulang skenario yang sama, krisis gas melon kembali menerjang masyarakat Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, kelangkaan gas LPG bersubsidi ini telah membuat rakyat menderita dan menambah beban ekonomi mereka. Antrean panjang di pangkalan gas, kenaikan harga yang tidak terkendali, serta ketidakpastian pasokan membuat masyarakat seakan dipermainkan dalam krisis yang tak pernah berkesudahan.
Di Bontang, kelangkaan gas LPG 3 kilogram (gas melon) sangat mempengaruhi masyarakat secara signifikan. Padahal pasokan untuk pangkalan mencukupi dan dari tiga titik penyalur tabung gas LPG di Bontang ternyata stocknya masih tersedia. Kelangkaan gas di Bontang dipicu oleh tingginya permintaan saat libur panjang awal Februari, di mana hanya tersedia sekitar 500 tabung, jauh di bawah kuota harian yang biasanya mencapai 5.600 tabung. (klikkaltim.com.05/02/2025)
Di Samarinda, Kelangkaan gas LPG 3 kg mendorong DPRD Samarinda melalui Komisi II mengadakan RDP dengan instansi terkait, mendesak distribusi langsung ke tingkat RT. Kelangkaan ini dipicu oleh kebijakan Kementerian ESDM yang melarang pengecer menjual gas mulai 1 Februari 2025. Meskipun Presiden Prabowo Subianto mencabut kebijakan tersebut, banyak warga terlanjur melakukan panic buying. (kaltimfaktual.co.06/02/2025)
Baca Juga
Di Paser Tanah Grogot sedikit berbeda, Meskipun kelangkaan LPG 3 kilogram terjadi di beberapa daerah di Kaltim, Kabupaten Paser tidak mengalaminya. Namun, masyarakat harus membayar lebih mahal, dari harga subsidi Rp22 ribu menjadi Rp55 ribu hingga Rp60 ribu di tingkat pengecer. Hal ini disebabkan oleh indikasi pangkalan nakal dan pemasok dari luar Paser seperti PPU dan Kalsel yang mendistribusikan gas di luar harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditentukan.(kaltim.tribunnews.com.03/02/2025)
Paradoks Kebijakan Kapitalistik
Meski pasokan gas LPG 3 kilogram berjalan normal, namun kebijakan baru menteri ESDM memperburuk situasi. Warga diwajibkan membeli langsung ke pangkalan (Agen resmi PT. Pertamina) dengan harga resmi Rp21 ribu, Pertamina berharap aturan ini bisa memastikan distribusi gas bersubsidi yang adil dan terjangkau, dan penyalur yang melanggar menghadapi sanksi tegas, termasuk pemutusan hubungan kerja sama. Namun Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan alasan dibalik itu semua karena sejatinya LPG subsidi ini tidak tepat sasaran dan terindikasi terjual ke industri. Ini menunjukkan bahwa perubahan regulasi ini tampak lebih sebagai jurus praktis mengurangi anggaran subsidi agar tidak jebol, karena distribusinya tidak terpantau.
Namun naasnya Regulasi ini justru sering menimbulkan kebingungan dan membuat masyarakat susah, terutama saat permintaan tinggi pada libur panjang. Akibatnya praktis susah didapatkan, jikapun ada bahkan stoknya melimpah masyarakat harus merogoh kantong lebih dalam karena harganya naik jadi 2 bahkan 3x lipat dari biasanya dan untuk mendapatkannya masyarakat harus rela antre berjam-jam di pangkalan, harus memperlihatkan KTP, BPJS, dan sejumlah surat surat yang lain, padahal itu adalah hak mereka. Bahkan, seolah melengkapi penderitaan masyarakat, di berbagai daerah tragedipun terjadi; seorang ibu di Pamulang Tangsel misalnya, harus kehilangan nyawa akibat kelelahan mengantre LPG, warga di Malahing Bontang yang rumahnya terbakar akibat masak dengan kayu bakar karena tidak mendapatkan LPG, di Medan seorang lansia meninggal dunia setelah mengalami cedera serius akibat terdorong dan jatuh dalam antrean panjang untuk mendapatkan gas LPG bersubsidi, di Makassar seorang ibu rumah tangga terkena serangan jantung akibat stres dan kelelahan setelah seharian mencari gas LPG 3kg.
Semaraknya upaya pemerintah mengatasi kelangkaan LPG bersubsidi dengan berbagai kebijakan baru ternyata menuai masalah yang tak terduga. Pengecer kecil-kecilan terpaksa gulung tikar, pasokan gas melon langka di pasaran, dan harga meroket tajam. Tak berhenti di situ, protes demi protes meledak di berbagai daerah, menuntut keadilan. Presiden Prabowo Subianto pada 4 Februari 2025 akhirnya menginstruksikan kepada Menteri ESDM untuk mengaktifkan kembali pengecer gas LPG 3 kg sambil menertibkan pengecer menjadi agen subpangkalan secara parsial. Pemerintah membatalkan kebijakan yang awalnya digadang-gadang sebagai solusi. Paradoks memang, beginilah sejatinya penguasa yang berkarakter populis otoriter pencitraan, pemerintah terlihat seakan datang sebagai penyelamat masyarakat dari kesulitan Gas LPG yang sebenarnya timbul akibat kebijakan dzalim mereka sendiri. Inilah bukti nyata gagalnya kebijakan penguasa yang tidak memihak kepada rakyat kecil.
Sejatinya dalam sistem ekonomi kapitalisme subsidi itu membebani negara sehingga perlahan subsidi ini dikurangi sampai negara benar benar lepas tangan dalam pembiayaan dan akhirnya tidak ada lagi subsidi. Penerapan sistem kapitalisme saat ini lebih mengutamakan keuntungan daripada kesejahteraan masyarakat, negara cuma mau untung, jika tidak untung pasti cari cara biar tetap cuan.
Dari Rakyat ke Korporasi
Tragedi akibat kelangkaan LPG 3kg di beberapa daerah, bukan hanya sekedar insiden yang terjadi akibat kebijakan populis otoriter dan rusaknya distribusi LPG ke masyarakat. Namun, di balik itu, ada masalah yang lebih mendalam, yaitu liberalisasi sektor migas sebagai buah dari penerapan sistem kapitalisme di Indonesia. Liberalisasi ini memberi karpet merah bagi korporasi bermodal besar, baik domestik maupun asing/aseng untuk mengelola sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat.
Korporasi tidak hanya menguasai sektor hulu dalam pengelolaan Migas, tetapi telah merambah hingga ke hilir (distribusi). Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang melarang distribusi LPG 3kg ke pengecer dan mewajibkan warga untuk membeli langsung ke Pangkalan resmi Pertamina, sementara untuk menjadi agen resmi disyaratkan untuk punya modal besar dan lahan yang luas yang kebanyakan tidak sanggup dipenuhi oleh pengecer, namun sebaliknya hanya bisa dipenuhi oleh pemilik modal besar. Dengan demikian pemilik modal besarlah yang lebih mendapatkan peluang dan keuntungan dari seluruh mata rantai pasokan gas, sementara pengecer akan rugi karena kehilangan penghasilan dari berjualan LPG dan disini rakyatpun susah karena harus menempuh jarak yang relatif jauh untuk membeli LPG.
Baca Juga
Ironisnya, kelangkaan gas LPG yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan Timur, yang merupakan salah satu penghasil migas terbesar di negara ini, toh masyarakatnya tetap ngantri dan mengeluarkan uang banyak untuk memperolehnya. padahal kota-kota seperti Muara Badak, Bontang, dan Balikpapan memiliki cadangan gas alam yang besar dan berkontribusi signifikan terhadap produksi migas nasional.
Kapitalisme membuat peran negara hanya sebatas pembuat aturan. Pemerintah hanya bertugas membuat regulasi agar kebijakan bisa berjalan sesuai kemauan tuannya yaitu pemilik modal, dalam dinamika pengelolaan apapun termasuk migas di sistem kapitalisme, terlihat jelas bagaimana perjalanan sumber daya berpindah dari tangan rakyat ke korporasi besar, yang seharusnya menjadi hak masyarakat luas kini dikuasai oleh kekuatan korporasi yang memperoleh keuntungan dari setiap mata rantai distribusi, saat masyarakat kecil berjuang mendapatkan akses yang adil, korporasi Melangkah dengan mantap memanfaatkan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada mereka, begitu kontrasnya ibarat aliran sungai yang bening perlahan mengalir menuju samudra yang dikuasai oleh raksasa, begitulah “dari rakyat ke korporasi”
Khilafah Islam Mengatasi Carut Marut LPG
Sektor migas yang depositnya cukup banyak seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai dan laut semuanya telah ditetapkan oleh syariah masuk kategori kepemilikan umum.
Dalam kitab Sistem Ekonomi Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Hal 238, dijelaskan bahwa kepemilikan umum mencakup sumber daya alam yang vital bagi kehidupan masyarakat, seperti air, padang rumput, dan energi. Berdasarkan sebuah Riwayat yang menguraikan karakteristik dari kebutuhan publik tersebut terdapat sebuah hadis, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud). Dalam penuturan Anas ra. hadis tersebut ditambah dengan redaksi: wa tsamanuhu haram (harganya haram), artinya dilarang untuk diperjualbelikan.
Berdasarkan hal tersebut, segala benda apapun yang jika tidak terpenuhi dalam suatu komunitas semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu negeri yang kemudian menjadikan mereka akan bersengketa dalam rangka mendapatkannya maka hal tersebut dipandang sebagai fasilitas umum atau kepentingan umum atau kepemilikan umum. Negara dalam hal ini adalah Khalifah memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya ini demi kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi pemerintah sebagai raa’in (pengurus atau pelindung masyarakat), Hasil pendapatan tambang dimasukkan ke kas Baitul Mal. Khalifah memiliki kewenangan untuk mendistribusikan hasil dan pendapatannya sesuai ijtihad demi kemaslahatan umat.
Negara tidak boleh menjual SDA kepada rakyat dengan tujuan mencari keuntungan. Harga jual kepada rakyat hanya sebesar biaya produksi. Namun, negara diperbolehkan menjualnya dengan keuntungan wajar untuk keperluan produksi komersial. Namun sebaliknya Jika SDA umum tersebut dijual ke luar negeri, pemerintah boleh mendapatkan keuntungan maksimal.
Sehingga saat ada problem kelangkaan LPG di tengah masyarakat semestinya negara memudahkan masyarakat dengan pemberian gratis atau dengan harga yang murah untuk mendapatkannya, bukan malah sebaliknya meregulasi dengan berbagai cara dan dengan berbagai alasan, apalagi karena alasan subsidi tidak tepat sasaran, ini salah tempat! karena gas adalah kepemilikan umum milik rakyat, sehingga masalah subsidi adalah pembahasan yang wajib ditiadakan dari pemenuhan LPG ini.
Sesungguhnya Negara di dalam Islam adalah Pelayan untuk rakyatnya. Berdasarkan hadist Nabi SAW;
(الإمام راعٍ وهو مسؤول عن رعيته (رواه البخاري ومسلم
Artinya: “Imam adalah pelaya rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.
Dan di dalam kitab “Struktur Khilafah, karya Syaikh Taqiuddin An-Nabhani, hal 202”, dijelaskan bahwa “Setiap bentuk kezaliman yang menimpa seseorang yang berasal dari seorang penguasa atau dari pengaturan dan perintah-perintah negara dinilai sebagai mazlimah atau kezaliman”, perkaranya disampaikan kepada khalifah lalu khalifah menghilangkan kezaliman tersebut atau disampaikan kepada orang yang mewakili khalifah untuk menghilangkan kezaliman itu yaitu Qadhi Madzalim.
Dengan demikian Khalifah Negara Islam (Khilafah) akan memudahkan rakyat untuk mengakses berbagai kebutuhannya terhadap layanan publik, fasilitas umum, dan SDA yang merupakan hajat publik, termasuk migas dan LPG.
Lalu saat terjadi pengaduan akibat kezaliman atau ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa sebagai hasil dari kebijakan dan perintah negara. Maka khalifah wajib menghilangkan kezaliman tersebut, dalam hal ini khalifah boleh menunjuk Qadhi Madzalim sebagai hakim khusus yang bertugas untuk menangani kasus-kasus kezaliman yang dilakukan oleh pejabat negara atau penguasa. Tugas Qadhi Madzalim adalah memastikan bahwa setiap bentuk ketidakadilan diperbaiki dan orang yang dirugikan mendapatkan keadilan.
Hal ini tampak jelas pada masa Rasulullah, bahwasanya telah diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa Beliau telah menetapkan apa yang diperbuat oleh seorang penguasa —baik berupa perintah atau bukan, yang tidak sesuai dengan arahan kebenaran ketika memutuskan perkara atau memerinta untuk rakyat— sebagai tindak kezaliman. Dari Anas dinyatakan: Harga-harga melambung tinggi pada masa Rasulullah saw., lalu para Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya Anda menetapkan patokan harga (tentu tidak melambung seperti ini).” Kemudian Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya Allahlah Yang menciptakan, memegang, dan melapangkan; Yang Maha Pemberi rezeki; dan Yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak, sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepadanya dalam perkara yang bekaitan dengan darah atau harta. (HR Ahmad).
Dengan demikian, Rasulullah saw. telah menjadikan penetapan patokan harga sebagai suatu bentuk kezaliman. Karena itu, seandainya Beliau melakukannya, itu artinya Beliau melakukan sesuatu yang tidak menjadi hak Beliau untuk melakukannya. Demikian juga, Rasul saw. pun telah menjadikan pemeriksaan atas perkara-perkara yang terjadi dalam masalah hak-hak semua orang, yang diatur oleh negara untuk masyarakat sebagai bagian dari kewenangan Qâdhî Mazhâlim
Begitulah kebijakan-kebijakan khalifah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Semua tindakan ini diambil dengan tujuan menjalankan amanah, bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Dengan demikian, hanya dengan khilafahlah carut marut LPG bisa diatasi dan LPG yang terjangkau, murah, bahkan gratis dan mudah didapatkan hanya akan niscaya dalam sistem warisan Nabi SAW yaitu Khilafah. Wallahu a’lam bisshawab.

Asna Abdullah merupakan aktivis dakwah yang lahir di Sulawesi Barat pada 31 Desember 1979 silam.