Satu tahun pascaperistiwa berdarah di Muara Kate, warga masih menuntut keadilan atas pembunuhan Russel dan maraknya aktivitas hauling batubara yang merusak jalan umum dan membahayakan nyawa.
Kaltim.akurasi.id, Paser – Tepat satu tahun lalu, pada 16 Juni 2024, warga Muara Kate, Kabupaten Paser, diguncang tragedi berdarah yang menewaskan salah satu tetua adat Paser, Russel. Ia dikenal vokal menolak aktivitas hauling batu bara milik PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang dinilai merusak kehidupan warga. Rentetan peristiwa kecelakaan akibat truk-truk pengangkut batu bara juga terjadi—Ustaz Teddy meninggal dunia setelah tertabrak truk hauling, dan Pendeta Veronika tewas secara tragis akibat dihantam truk yang gagal menanjak.
Penolakan terhadap aktivitas hauling ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 2023. Ribuan kendaraan berat melintasi jalan nasional yang menjadi satu-satunya akses warga untuk beraktivitas. Jalan tersebut semakin rusak dan penuh debu, membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Warga: “Kami Tak Tahu Lagi Harus Mengadu ke Siapa”
Dalam konferensi pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, sejumlah warga dari Muara Kate dan Batu Kajang hadir memberikan kesaksian. YB, salah satu warga Batu Kajang, menyebut sekitar 700 truk PS dan 300 truk roda 10 melintasi jalan nasional setiap hari.
“Truk-truk ini bahkan berasal dari luar daerah, banyak yang berpelat Sulawesi. Mereka gunakan separuh badan jalan. Kami geram, karena ini jalan umum, bukan untuk aktivitas tambang,” ujar YB, Rabu (18/6/2025).
Ia mengaku, dampak hauling membuat akses warga menuju rumah sakit atau sekolah menjadi lambat. Jika sebelumnya bisa ditempuh dalam 30 menit, kini bisa mencapai satu jam.
Gubernur Kaltim Dituding Beri Celah Hauling
Yang membuat warga kecewa, lanjutnya, adalah sikap pemerintah yang justru memberikan ruang bagi aktivitas hauling. Padahal dalam rapat sebelumnya yang dihadiri Kementerian ESDM dan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN), hauling di jalan umum dinyatakan tak boleh dilakukan. Namun, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud justru memberikan kelonggaran operasi dengan sistem shift, dari pukul 21.00 hingga 04.00 WITA.
“Keputusan itu tidak menyelesaikan persoalan. Truk-truk kosong tetap lewat siang hari, dan malamnya mereka mengangkut batubara. Ini tetap merugikan warga,” jelasnya.
Dua hari sebelum kunjungan Wapres RI Gibran Rakabuming Raka ke Muara Kate, Sekretaris Wapres Al-Muktabar dan Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji sempat menemui warga. Dalam dialog itu, hauling di jalan nasional disebut tidak boleh. Namun, komitmen konkret dari pemerintah dinilai tak pernah ada.
“Tidak ada satu pun bentuk komitmen tertulis. Tidak ada pergub, perda, atau regulasi baru yang ditegakkan,” kata ZF, warga Muara Kate.
ZF menekankan bahwa pengawasan aktivitas hauling bukan tugas warga. Penegakan hukum seharusnya menjadi kewenangan aparat dan pemerintah daerah. Ia juga menyayangkan stigma yang dilekatkan kepada sopir truk, padahal mereka hanyalah pekerja yang menjalankan perintah.
“Sopir tidak salah, mereka hanya bekerja. Yang diuntungkan itu vendor pemilik truk dan perusahaan. Tapi yang menghadapi kemarahan warga justru para sopir,” ujarnya.
Solusi Shift Hauling Dinilai Tak Masuk Akal
Ketua JATAM Kaltim, Mareta Sari, menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini dan mendesak aparat hukum mengusut tuntas pembunuhan Russel. Ia menilai ada indikasi kuat bahwa pembunuhan tersebut berkaitan langsung dengan penolakan terhadap hauling tambang di Muara Kate.
“Kunjungan Wapres seharusnya membawa dampak nyata, bukan sekadar simbolik. Warga masih dihantui rasa tidak aman,” kata Mareta.
Terkait kebijakan Gubernur Kaltim soal shift malam untuk aktivitas hauling, Mareta menyebut keputusan itu tidak masuk akal. Berdasarkan analisis JATAM, PT MCM harus mengangkut 8.000 ton batu bara per hari untuk memenuhi target tahunan sebanyak 1,2 juta ton. Dengan kapasitas angkut truk 10-12 ton, dibutuhkan 800 hingga 1.500 truk per hari. Dalam waktu 5 jam operasional malam hari, hal itu sangat tidak realistis.
“Dengan jarak tempuh 135 kilometer dari tambang ke titik akhir, dan kondisi jalan rusak, kebijakan ini jelas mustahil dijalankan secara efisien,” tegasnya.
Lebih lanjut, Mareta mengungkapkan bahwa sejak 2023 hingga Januari 2025, PT MCM meraup keuntungan sekitar Rp1,5 triliun. Namun hingga kini, perusahaan belum juga membangun jalan khusus hauling.
“Kenapa negara lebih memilih memberikan celah kepada perusahaan, ketimbang menegakkan aturan dan melindungi warga? Kami bahkan akan mengajukan judicial review terhadap UU Minerba sebagai bentuk perlawanan,” jelas Mareta. (*)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id