Terbukti Vote Buying, Paslon Owena-Stanislaus Didiskualifikasi di Pilbup Mahulu

Devi Nila Sari
24 Views
Calon Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu, Owena Mayang Shari Belawan dan Stanislaus Liah. (Istimewa)

Paslon Owena-Stanislaus didiskualifikasi pada Pilbup Mahulu 2024. Hal ini lantaran keduanya terbukti melakukan praktik suap atau vote buying.

Kaltim.akurasi.id, Mahulu – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mendiskualifikasi pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu nomor urut 3, Owena Mayang Shari Belawan dan Stanislaus Liah. Putusan ini dikeluarkan lantaran tudingan terkait penggelembungan suara terbukti.

Keluarnya putusan ini sekaligus membatalkan keputusan KPU Mahakam Ulu Nomor 601 Tahun 2024. Tentang penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu Tahun 2024, yang menetapkan pasangan tersebut menang pada Pilkada Mahulu, dengan memperoleh 9.930 suara.

Pembacaan keputusan ini berlangsung pada Senin (24/2/2025) pukul 08.00 WIB dengan nomor perkara 224/PHPU.BUP-XXIII/2025, di Gedung MK, Jakarta.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran TSM dalam Pilbup Mahakam Ulu 2024. Pelanggaran ini terkait dengan adanya kontrak politik yang menjanjikan sejumlah uang di seluruh kecamatan di Kabupaten Mahakam Ulu.

Kontrak politik tersebut melibatkan paslon nomor urut 3 dan para ketua tukun tetangga (RT) di berbagai desa.

“MK menemukan bukti berupa dokumen kontrak politik yang ditandatangani oleh ketua RT dan paslon nomor urut 3 sebagai pihak terkait. Fakta yang terungkap menunjukkan bahwa terdapat 28 ketua RT dari 18 desa di 5 kecamatan di Kabupaten Mahakam Ulu telah menandatangani kontrak politik tersebut,” tuturnya.

Paslon Owena-Stanislaus Janjikan Duit Rp4 Sampai Rp8 Miliar Per Kampung Jika Terpilih

Dalam persidangan, pihak terkait tidak menyangkal adanya kontrak politik ini dan menyatakan bahwa kontrak tersebut dibuaterdasarkan kesepakatan antara paslon nomor urut 3 dan ketua RT atau warga Kabupaten Mahakam Ulu.

Warga dimaksud bukan anggota TNI/Polri, PNS, atau pejabat lain yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Saldi Isra menjelaskan, fenomena kontrak politik yang terjadi dalam Pilbup Mahakam Ulu merupakan bentuk praktik suap atau vote buying kepada pemilih.

Dalam kontrak politik tersebut, dijanjikan adanya alokasi dana kampung sebesar Rp4 miliar hingga Rp8 miliar per kampung per tahun. Serta program ketahanan keluarga sebesar Rp5 juta hingga Rp10 juta per dasawisma per tahun.

Dengan janji-janji ini, para ketua RT yang menandatangani kontrak politik tidak hanya akan memengaruhi pemilih, tetapi juga akan berkoordinasi dengan petinggi kampung untuk merealisasikan janji politik pihak terkait.

“Dalam batas penalaran yang wajar, kontrak politik ‘tidak biasa’ demikian merupakan ‘perjanjian’ antar-pihak yang bersifat privat. Berisi janji untuk memberikan sejumlah uang tersebut, oleh karena itu  dimaknai sebagai praktik suap atau vote buying kepada pemilih,” katanya.

Ketua RT Dikontrak Jadi Tim Pemenangan

Selain dikategorikan sebagai suap, ia menjelaskan, kontrak politik tersebut juga memposisikan para ketua RT sebagai tim pemenangan bagi pihak terkait. Hal ini disebabkan oleh adanya klausul dalam kontrak yang menyatakan bahwa “Pihak pertama dapat menyosialisasikan kontrak politik kepada warga RT dan kampung setempat.”

Klausul ini mengikat ketua RT untuk memengaruhi pemilih agar memilih pihak terkait. Praktik sosialisasi tersebut dipastikan berupa ajakan kepada masyarakat. Untuk memilih pihak terkait dengan memanfaatkan unit pengelola lingkungan yang paling dekat dengan pemilih, yaitu ketua RT.

“Disadari atau tidak, pasangan calon nomor urut 3 telah menjadikan atau memposisikan para ketua RT sebagai tim pemenangan yang bersangkutan,” tambahnya. (*)

Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Devi Nila Sari

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *