Kaltim.akurasi.id, Bontang – Pagi-pagi sekali Lina menggerutu. Tumpukan bayam layu ia sisihkan di pojokan karena tidak laku. Sedangkan sayur kangkung, katuk, bayam, sawi, kacang panjang, dan kemangi yang masih segar ia pajang dengan rapi agar menarik perhatian pembeli.
“Beginilah kalau jualan sayur. Kalau layu tidak laku, dikasihkan ke orang saja buat makan kelinci,” ucapnya, Senin (2/12/2024).
Lina merupakan salah satu dari belasan pedagang yang menjajakan sayur di emperan belakang gedung Pasar Taman Rawa Indah (Tamrin), Jalan Ir H Juanda, Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kecamatan Bontang Selatan. Lapak Lina hanya beralaskan karpet berukuran sekira 130×100 sentimeter dan beratapkan payung pelangi. Meski apa adanya, perempuan berusia 40 tahun ini mengaku bersyukur lantaran diperbolehkan berjualan di balik gedung.
Sembari mengupas bawang merah, perempuan berjilbab ini mengaku enam bulan belakangan sempat berjualan di emperan pinggir jalan, tepatnya di depan gedung Pasar Tamrin. Sebenarnya dirinya paham betul jika berjualan di pinggir jalan tentu menyalahi aturan.
Selain itu akibat transaksi jual beli tidak pada tempatnya kerap bikin macet jalanan. Belum lagi setiap pagi pukul 07.30 Wita ia bersama pedagang lain harus kucing-kucingan, gegara penertiban Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bontang. Padahal, ia baru membuka lapak pukul 05.00 Wita.
“Tapi berjualan di luar memang lebih ramai, karena orang malas turun dari motor mereka tinggal beli saja,” akunya.
Sebelumnya, dia bersama beberapa pedagang sempat berjualan di dalam gedung Pasar Tamrin. Karena pada Februari lalu, Presiden RI ke-7 Joko Widodo menyambangi Kota Bontang dalam rangka meresmikan PT Kaltim Amonium Nitrat (KAN). Presiden disebut-sebut akan berkunjung ke Pasar Tamrin. Bersamaan tersiarnya kabar tersebut, pengawasan dan penertiban pedagang pasar pun semakin ketat. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pasar mengimbau agar pedagang berjualan di kios-kios yang tersedia di dalam gedung pasar.
“Sebentar saja kami jualan di dalam (gedung pasar, Red.). Sepi. Pernah tidak laku satu pun seharian. Mereka yang pembelinya ramai karena sudah punya langganan,” ungkapnya.
Tidak betah karena sepi pengunjung, Lina pun akhirnya berjualan di emperan belakang gedung pasar. Sebenarnya, lokasi tersebut merupakan tempat parkir dan sebagai tempat lalu-lalang kendaraan pengangkut ikan dan sayuran. Namun kini menjadi tempat berdagang sayur. Ada yang menggunakan pikap dan ada pula yang hanya sekadar duduk di emperan beralaskan tikar.
Dalam sehari, Lina berjualan terbagi menjadi 2 waktu. Yakni pagi mulai pukul 05.00-09.00 Wita, lalu dilanjut siang mulai pukul 15.00-18.00 Wita. Sayuran yang dijual harganya beragam, mulai dari Rp5 ribu sampai Rp7 ribu per ikat.
Lina mengaku berjualan di tempat tersebut lebih ramai ketimbang di dalam gedung pasar. Meski hanya emperan, paling sedikit dirinya mendapat penghasilan kotor Rp1 juta dan paling banyak Rp2 juta dalam sehari. Namun hari-hari pendapatannya tak menentu, tergantung ramainya pembeli.
“Jumat dan Sabtu biasanya ramai. Kalau Senin kayak hari ini, kurang pembeli,” tuturnya.
Menjelang sore, sayur yang dijajakan Lina tentunya tak sesegar di pagi hari. Daripada tidak laku, dirinya menurunkan harga sayurnya dengan harga modal. Jika sayur yang tadinya dijual harga Rp5 ribu per ikat, ia diskon menjadi 2 ikat. Paling murah Lina terpaksa menjualnya dengan harga Rp2 ribu per ikat.
“Yang penting jadi uang. Kalau tidak habis, kadang dibagikan ke tetangga. Kalau sayur layu betul, saya kasih ke orang gratis buat makan peliharaan atau saya buang ke tong sampah,” ungkapnya.
Meski untungnya tidak seberapa, Lina mengaku bersyukur lantaran diizinkan untuk berjualan di lapaknya saat ini. Pasalnya, penghasilannya tersebut menjadi tempat bergantung keempat anaknya yang tiga diantaranya masih bersekolah di bangku SMP dan SMA. Sebagai ibu tunggal, dirinya berharap dapat terus membiayai kehidupan anak-anaknya walaupun dari hasil berjualan sayur di pasar.
“Harapan saya, kami tetap diperbolehkan berjualan di sini karena masih lumayan ramai pembeli. Karena jika tidak diperbolehkan, lebih baik saya mencari kerja saja di warung,” ucapnya.
Berulang Kali Ditertibkan, Pedagang Pasar Rawa Indah Tetap ‘Bandel’

Pasar Rawa Indah diketahui dibangun sejak 1990. Namun penataan pedagang di pasar tersebut selalu menjadi pekerjaan rumah (PR) Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang. Hal ini diakui Kepala UPT Pasar Nurfaidah.
Dia mengaku saat baru menjabat Februari lalu, para pedagang di luar pasar ditertibkan agar berjualan di dalam gedung. Masing-masing pedagang pun sudah mendapatkan kios. Namun, kata Nurfaidah, masalah kembali terjadi. Dimana para pedagang justru berjualan di emperan lantai pasar sehingga akses jalan menjadi sempit.
“Tak henti-hentinya berulang kali kami tertibkan agar mereka berjualan di tempat semestinya,” ungkapnya.
Begitu juga area belakang gedung Pasar Tamrin. Kata Nurfaidah, awalnya lokasi tersebut diperuntukkan untuk penyuplai sayur yang menggunakan mobil pikap. Dimana kehadiran penyuplai tersebut awalnya hanya menjual dagangan untuk tengkulak atau pedagang di pasar. Nurfaidah menyebut pihaknya sudah membuat kesepakatan dengan para penyupai tersebut agar berjualan dari pukul 03.00-07.00 Wita. Lalu pada pukul 08.00 Wita, lokasi wajib bersih dari keberadaan pedagang.
“Awalnya patuh aturan, tapi hanya sebentar. Berjalan seiring waktu, ada provokator yang membuat amburadul,” bebernya.
Meski di dalam pagar, Nurfaidah menegaskan pedagang yang berjualan di belakang gedung Pasar Rawa Indah melanggar aturan. Pasalnya kios-kios di Pasar Tamrin yang telah diberikan tidak digunakan semestinya. Bahkan dari 1370 lapak yang tersedia, masih ada sekira 800 kios lebih yang masih kosong.
“Mereka mengaku sepi. Kalau sepi, kenapa masih banyak pedagang yang masih bertahan sampai sekarang?” cecarnya.
Nurfaidah mengaku pihaknya bisa saja kembali menertibkan pedagang ‘nakal’ tersebut. Apalagi, pihaknya sudah memegang surat perjanjian yang sebelumnya telah disepakati pedagang yang disaksikan pihak kepolisian. Namun dengan dasar kemanusiaan, kata dia, pihaknya belum ingin berbuat jauh untuk menertibkan lapak pedagang di emperan tersebut.
Rencananya ke depan, Nurfaidah menegaskan pihaknya akan mengkaji kembali surat perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dan memanggil pihak terkait.
“Penataan pedagang ini masih akan terus dibenahi. Untuk keputusannya, saya belum bisa memutuskan. Karena nanti tergantung dari wali kota yang baru,” pungkasnya. (*)
Penulis/Editor: Suci Surya Dewi