Salah satu pertimbangan utama dikabulkannya praperadilan Kasus KHDTK Unmul ini adalah tidak adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang sah.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Pengadilan Negeri (PN) Samarinda mengabulkan permohonan praperadilan dua warga berinisial D dan E terkait kasus dugaan perambahan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul).
Putusan itu membatalkan status tersangka yang sempat ditetapkan Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan sekaligus memunculkan pertanyaan publik soal siapa aktor utama di balik kasus perambahan hutan tersebut.
Tim kuasa hukum D dan E sejak awal menilai penetapan kliennya sebagai tersangka dilakukan secara tergesa-gesa. Bahkan, mereka menyebut D dan E sebagai korban salah tangkap.
Kuasa hukum D dan E, Angga D Saputra, mengungkapkan sejak awal pihaknya sudah menemukan banyak kejanggalan dalam proses penyidikan yang dilakukan penyidik Gakkum Kehutanan.
“Memang dalam proses penyidikan yang dilakukan teman-teman Gakkum Kehutanan Wilayah Kalimantan itu, kami merasa klien kami ini juga sebagai korban,” ujar Angga.
Ia menjelaskan, pada 19 Juli lalu, D dan E awalnya hanya dipanggil dan diperiksa sebagai saksi. Namun, hanya beberapa menit setelah pemeriksaan selesai, keduanya langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
“Pasca pemeriksaan sebagai saksi, lima sampai sepuluh menit kemudian keluar surat penetapan tersangka dan penahanan. Itu yang kami pertanyakan, kok seakan-akan tergesa-gesa?” tegas Angga.
Kejanggalan semakin mencuat karena seminggu sebelumnya Polda Kaltim juga telah menetapkan tersangka untuk kasus serupa. “Bagaimana mungkin ada dua penyidikan terhadap satu dugaan tindak pidana, dengan tersangka yang berbeda dan tidak saling terkait?” cecarnya.
Selain itu, Angga menyoroti sikap penyidik yang tidak memberi kesempatan kepada pihaknya untuk menghadirkan bukti-bukti yang meringankan, termasuk saksi maupun ahli.
“Semua serba spontan. Kami tidak diberi waktu menghadirkan bukti, padahal klien kami baru diperiksa sebagai saksi. Malam itu juga langsung ditetapkan sebagai tersangka. Ini yang kami sayangkan, karena seharusnya penegakan hukum dilakukan dengan cermat dan sesuai prosedur,” imbuhnya.
Menurut Angga, langkah penyidik yang terburu-buru justru berpotensi mencederai rasa keadilan. Ia menegaskan penetapan tersangka seharusnya didasari bukti permulaan yang kuat, bukan hanya asumsi.
“Kami melihat tidak ada fakta yang benar-benar menunjukkan keterlibatan klien kami. Karena itu, wajar jika masyarakat menganggap D dan E korban salah tangkap,” tegasnya.
Sementara itu, Hakim PN Samarinda, Jemmy Tanjung Utama menyatakan penetapan tersangka terhadap D dan E oleh Gakkum Kementerian KLHK Wilayah Kalimantan dianggap tidak sah dan batal secara hukum.
Jemmy juga menyatakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Berita Acara Pemeriksaan (BAP), serta seluruh tindakan penyidikan dan penahanan yang dilakukan terhadap keduanya tidak sah. Negara dibebankan membayar biaya perkara.
Salah satu pertimbangan utama dikabulkannya praperadilan ini adalah tidak adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang sah, sebagaimana dipersyaratkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XII/2015.
“Hakim tidak menemukan adanya SPDP kepada Pemohon selaku Tersangka paling lama tujuh hari sejak dikeluarkannya Sprindik. Dengan demikian, alasan ketiga permohonan praperadilan beralasan hukum untuk dikabulkan,” ungkapnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Suci Surya Dewi