Keluarga nelayan di Muara Badak menanti dengan harap cemas di Polres Bontang. Suami dan ayah mereka diamankan usai aksi protes dugaan pencemaran laut yang merusak mata pencaharian mereka. Di tengah ketidakpastian, mereka hanya bisa berharap keluarga mereka segera dibebaskan
Kaltim.akurasi.id, Bontang – Sejumlah keluarga nelayan yang diamankan usai aksi demonstrasi masih menanti kepastian di Polres Bontang. Mereka berharap agar anggota keluarga mereka segera dibebaskan setelah menjalani pemeriksaan.
Polres Bontang mengamankan 10 orang, terdiri dari 7 nelayan dan 3 koordinator lapangan, yang ikut serta dalam aksi protes yang digelar Aliansi Nelayan Peduli Kerang Dara di depan kantor PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS), Muara Badak, pada Rabu (12/02/2025). Hingga kini, mereka masih berstatus saksi dalam proses penyelidikan.
Di antara keluarga yang menunggu adalah Legiem (60), warga Muara Badak, yang khawatir akan kondisi suaminya, Abu (65). Abu memiliki riwayat asam urat, dan Legiem takut kondisi suaminya memburuk selama pemeriksaan.
“Saya di sini dari pagi bersama keluarga lain. Semalaman saya tidak bisa tidur, kepikiran suami saya. Saya bawakan obat asam urat, takutnya kambuh. Tadi sudah saya titipkan,” ujar Legiem di Polres Bontang, Kamis (13/02/2025).
Legiem pertama kali mengetahui suaminya diamankan dari anaknya, tepat setelah Magrib. Ia bergegas menuju Polsek Muara Badak, tetapi suaminya sudah dipindahkan ke Polres Bontang.
“Alhamdulillah tadi sudah ketemu, walau hanya bisa komunikasi dari lantai dua Polres. Bapak baik-baik saja,” katanya dengan suara bergetar.
Suaminya, yang sebelumnya seorang nelayan ikan, mulai membudidayakan kerang dara sejak 2022. Usaha ini menjadi tumpuan ekonomi keluarganya, memungkinkan mereka merenovasi rumah dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, pada akhir 2024, panen mereka gagal. Legiem dan nelayan lain mencurigai bahwa kegagalan ini disebabkan oleh pencemaran air akibat aktivitas pengeboran rig milik PT PHSS.
“Dulu bapak nelayan penangkap ikan tarik, lalu diajak membudidaya kerang dara. Tahun pertama menghasilkan, sampai rumah kayu kami bisa ditinggikan. Tapi akhir tahun kemarin, panennya gagal,” jelasnya.
Legiem menduga aktivitas pengeboran rig telah mencemari perairan tempat mereka membudidayakan kerang dara. Harga bibit yang terus meningkat semakin memperburuk keadaan. Pada awal 2024, keluarganya menggelontorkan modal Rp40 juta untuk membeli 5 ton bibit, tetapi semua hasil panen lenyap akibat dugaan pencemaran.
Tanggung Jawab Siapa?
Para nelayan berjuang untuk menuntut hak mereka. Namun, alih-alih mendapat tanggapan dari perusahaan, beberapa dari mereka justru harus menghadapi pemeriksaan polisi.
“Itu juga yang buat bapak berjuang. Ini satu-satunya penghasilan keluarga. Namanya kepala rumah tangga, pasti ingin mempertahankan mata pencahariannya,” tegas Legiem.
Kini, ia hanya berharap suaminya segera dibebaskan dan bisa kembali ke rumah. Selain itu, ia mendesak agar PT PHSS bertanggung jawab atas dugaan pencemaran yang merugikan mereka.
“Semoga ini cepat selesai dan suami saya bisa pulang. Kami juga berharap ada ganti rugi agar bisa kembali berusaha,” katanya. (*)
Penulis: Dwi Kurniawan Nugroho
Editor: Redaksi Akurasi.id