Angka Perkawainan Anak di 2021 Turun

kaltim_akurasi
1 View
Kepala DKP3A Kaltim Noryani Sorayalita pada Sosialisasi Kegiatan Sosialisasi Peran Pengasuhan Anak dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak. (Dok Diskominfo Kaltim)

Angka perkawinan anak menjadi atensi pemerintah. Sebab, meski angkanya selalu fluktuatif, namun sesungguhnya tetap tinggi. Pemerintah pun melakukan berbagai upaya dalam mencegah perkawinan anak. Melalui berbagai edukasi maupun sosialisasi, hingga menaikkan batas usia menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Akurasi.id, Samarinda – Setiap tahunnya angka perkawinan anak di Kaltim terus fluktuatif. Meski terkadang mengalami peningkatan, namun adakalanya angka perkawinan anak juga mengalami penurunan.

Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, pada 2018 ada sebanyak 953 perkawinan anak, tahun 2019 sebanyak 845 anak dan tahun 2020 meningkat kembali sebanyak 1159 anak.

Sementara untuk di 2021, angka perkawinan anak mengalami penurunan sebanyak 70 anak jika dibandingkan tahun sebelumnya. Sehingga, angka perkawainan anak di 2021 menjadi 1089.

[irp]

“Meski demikian, jauh sebelum pandemi, perkawinan anak memang menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia,” ujar Kepala DKP3A Kaltim Noryani Sorayalita pada kegiatan Sosialisasi Peran Pengasuhan Anak dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Kaltim 2022, berlangsung di Hotel Ibis Samarinda, Selasa (1/3/2022).

Sementara, berdasarkan data perkawinan anak yang dihimpun Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag) di 2019, ada sebanyak 23.126 permohonan dispensasi kawin. Angka tersbut semakin meningkat di 2020.

Bahkan, dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2020, permohonan dispensasi yang masuk sebanyak 34.413 perkara. Namun, pengadilan hanya mengabulkan 33.664 pemohon.

[irp]

Perkawinan Anak Tidak Lepas dari Nilai-nilai di Masyarakat

Soraya mengungkapkan, maraknya perkawinan anak di negara kita menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke 2 di ASEAN. Dengan angka perkawinan anak tertinggi. Bahkan, pada 2018 lalu menempatkan Indonesia peringkat ke 8 dunia untuk kasus perkawinan anak.

Menurutnya, perkawinan anak di Indonesia tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang tertanam di masyarakat sejak lama, yang mendukung atau menormalisasi perkawinan anak. Seperti perspektif agama yang berpandangan bahwa menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina.

Selain itu, hal ini juga tak lepas dari perspektif keluarga. Sebab, masih banyak yang berpandangan bahwa perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun.

[irp]

Sehingga, tidak menjadi masalah jika hal serupa tetap mereka lakukan. Kemudian, ada perspektif komunitas yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi.

“Pandangan-pandangan ini menjadikan perkawinan anak di restui dan mendapat fasilitas orangtua, keluarga dan masyarakat,” ujarnya.

Untuk itu, pemerintah termasuk Pemprov Kaltim turut mendorong penurunan perkawinan anak. Melalui berbagai edukasi maupun sosialisas.

“Pemerintah terus berupaya mencegah perkawinan anak terjadi. Salah satunya, dengan merubah batas usia minimal perkawinan dari 16 tahun menjadi 19,” ungkapnya. (*)

Penulis/Editor: Devi Nila Sari

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *