40 Persen Warga Samarinda Pilih Golput

Devi Nila Sari
2 Views
Ilustrasi golput. (Istimewa)

Meski partisipasi politik Samarinda pada pilkada tahun ini dikatakan naik. Namun, masih ada 40 persen warga Samarinda masih memilih golput.

Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah sudah berlalu. Sayangnya 40 persen dari warga Ibu Kota Kaltim, Samarinda, justru memilih untuk tidak memilih atau golput.

Padahal, Ketua KPU Samarinda Firman Hidayat mengatakan, jika tahun ini angka partisipasi pemilih mengalami kenaikan. Yaitu sekira 59,9 persen atau hampir 60 persen. Angka ini tinggi 8 persen dibandingkan tahun 2020  yang hanya mencapai sekitar 51 persen.

Meski begitu angka ini masih jauh dari rata-rata nasional. Padahal samarinda memiliki banyak jumlah pemilih.

“Karena masih banyak warga ber-KTP Samarinda, tapi ternyata tidak tinggal di sini. Jadi mereka yang menopang rendahnya partisipasi. Jumlahnya ada puluhan ribu,” terang nya saat diwawancarai di Samarinda, belum lama ini.

Menurutnya, Samarinda memiliki karakteristik berbeda dengan daerah lain yang masih mengandalkan komunitas. Pilkada kali ini berbeda pula dengan pemilu pada Februari lalu.

Saat pilkada, kata Firman, sentral perhatian hanya pada beberapa tokoh. Sementara saat pemilihan legislatif, melibatkan lebih banyak calon.

“Jika satu orang bawa seribu pemilih, itu kan sudah berapa?,” sambungnya.

KPU Samarinda Tepis Isu Golput Karena Calon Tunggal

Sebenarnya terkait isu rendahnya partisipasi politik di Samarinda kali ini sudah diisukan sejak penetapan calon. Hal ini disinyalir karena hanya ada satu calon di Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Samarinda, melawan kotak kosong.

Namun, ia menepis dugaan ini. Menurutnya hal itu tidak menjadi penyebab. Pasalnya, selain pemilihan wali kota, ada pula pemilihan calon bubernur Kaltim.

Untuk menurunkan angka golput, pihaknya sudah melakukan banyak sosialisasi. Bersama pemerintah daerah, partai politik, pasangan calon, hingga bawaslu. Masing-masing sudah mengkampanyekan soal  pilkada sesuai tupoksinya sendiri-sendiri.

“Hanya memang kami tidak bisa memaksa pemilih untuk memilih karena status pemilih itu adalah hak bukan kewajiban. Dan kami hanya memantik dan memfasilitasi artinya kami sudah maksimal secara sosialisasi,” tandasnya. (*)

Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Devi Nila Sari

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *