Program pendidikan gratis di Kaltim menuai sejumlah pertanyaan. Akankah program ini dilaksanakan tanpa mengorbankan program lain?
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Program pendidikan gratis dari SD hingga S3 yang digagas oleh pasangan Rudy Mas’ud-Seno Aji, di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kaltim 2024 menuai banyak pertanyaan di kalangan masyarakat.
Seperti bagaimana ketentuan implementasinya nanti, apakah sesuai dengan yang dijanjikan, atau hanya tagline semata. Akankan program ini bisa berjalan sesuai harapan atau malah harus mengorbankan program lain dan sebagainya.
Karena tidak dipungkiri program ini akan memakan anggaran yang tidak sedikit. Sehingga, muncul kekhawatiran program ini malah akan membuat pembangunan dalam sektor pendidikan lain terhambat dan sebagainya. Seperti, pembangunan sekolah yang menjadi urgensi.
Pengamat politik dan kebijakan publik dari Universitas Mulawarman, Saipul Bachtiar mengatakan, dalam konteks ini, walaupun ada program-program unggulan yang disampaikan dalam kampanye, banyak variabel yang harus diperhatikan.
Pertama adalah prinsip penganggaran, seperti prinsip sustainable. Untuk itu, program yang harus dilanjutkan atau berkesinambungan tidak boleh dihentikan secara sepihak oleh gubernur saat itu.
“Kedua, program-program harus dibagi menjadi primer dan sekunder. Program primer menyangkut hajat hidup orang banyak atau kebutuhan pokok masyarakat, sedangkan program sekunder adalah kebutuhan yang tidak mendesak dan bisa diprioritaskan atau tidak,” kata Saipul.
Pengamat Ungkap Program yang Bisa Dipangkas untuk Sukseskan “Gratis Pol”
Menurutnya, program yang potensial dihentikan atau dikurangi anggarannya adalah program sekunder yang bukan program primer. Namun, dalam kampanye politis, seringkali tidak melihat dari sisi rasionalitas kemampuan anggaran daerah.
“Kata-kata “gratis” cukup efektif memikat masyarakat, tetapi masyarakat seringkali tidak memikirkan urusan yang wajib dibiayai oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Beberapa hal yang berpotensi dipangkas atau dialihkan anggarannya adalah infrastruktur yang sifatnya tidak multi-year, seperti jalan, gedung, atau jembatan. Anggaran ini lanjut Bachtiar, bisa dialihkan untuk program-program yang diutamakan, seperti pendidikan dan kesehatan gratis.
“Namun, masyarakat perlu memahami mana urusan wajib dan tidak wajib, serta kewenangan pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota,” sebutnya.
Dia menambahkan, janji-janji kampanye seperti pendidikan gratis hingga S3 perlu dilihat komitmennya, terutama untuk sekolah swasta yang perlu diinventarisir dan disubsidi berdasarkan kriteria tertentu.
“Kalau untuk pendidikan dasar hingga SMP sederajat masih menjadi kewajiban kabupaten/kota, sedangkan provinsi hanya bertanggung jawab untuk SMA,” pungkasnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Devi Nila Sari