Gunung Meratus terancam. Ketika masyarakat adat menyuarakan penolakan penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus dan pemerintah daerah memilih berpaling.
Kaltim.akurasi.id, Banjarbaru – Halaman kantor Gubernur Kalimantan Selatan dipenuhi ratusan masyarakat adat Dayak Meratus, Jumat (15/8/2025) sore. Mereka datang dari berbagai penjuru Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Kotabaru, hingga Tanah Bumbu. Diiringi tabuhan alat musik tradisional dan spanduk penolakan, mereka menegaskan satu hal, yaitu menolak rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus.
Aksi damai itu digelar oleh Aliansi Meratus, sebuah koalisi yang dimotori Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalsel dan Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Kalsel. Mereka membawa aspirasi masyarakat adat yang selama puluhan tahun menjaga hutan, sungai, dan tanah ulayat di kawasan Meratus.
Namun sore itu, harapan mereka pupus. Di hadapan massa aksi, Gubernur Kalsel Muhidin, memilih tidak menandatangani komitmen dukungan untuk menolak penetapan Taman Nasional.
“Janji ya hanya janji. Faktanya, ia memilih untuk tidak bersama masyarakat adat. Keputusan ini menjadi bukti bahwa pemerintah daerah lebih condong pada kebijakan konservasi top-down (kebijakan otoritas pusat, red), ketimbang suara akar rumput, ” tegas Direktur WALHI Kalsel, Raden Rafiq, menanggapi sikap sang gubernur.
Ketua PW AMAN Kalsel, Ruby, juga menegaskan bahwa Meratus bukan tanah kosong. Terdapat subjek yang hidup di Meratus, terdapat masyarakat adat yang sejak lama menjaga hutan.
“Bahkan untuk melahirkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat saja, butuh perjuangan sepuluh tahun. Jangan tiba-tiba ingin menetapkan Taman Nasional,” ujarnya.
Pegunungan Meratus yang membentang di sembilan kabupaten di Kalsel bukan hanya bentang alam dengan flora dan fauna langka. Ia adalah rumah bagi masyarakat adat yang selama ini terbukti mampu melestarikan wilayahnya dengan kearifan lokal. Konsep Taman Nasional yang diimpor dari luar, menurut mereka, hanya akan menggerus hak-hak adat dan menimbulkan konflik baru.
Usulan Aliansi Meratus
Aliansi Meratus pun menegaskan tiga tuntutan utama, yakni mencabut usulan penetapan Taman Nasional, meminta Kementerian Kehutanan menghentikan prosesnya, serta mendesak implementasi Perda Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Meski tanpa komitmen gubernur, perjuangan mereka belum surut. Hingga pasca aksi, petisi online penolakan Taman Nasional Meratus sudah ditandatangani lebih dari 600 orang. Bagi masyarakat adat, perjuangan ini adalah soal keberlangsungan hidup, bukan sekadar status kawasan.
“Masyarakat adat harus terus mengawal. Jangan sampai Meratus hanya tinggal nama,” pungkas Rafiq. (*)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Devi Nila Sari