Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menegaskan bahwa sejarah Nasional ditulis oleh para ahli. Oleh karena itu, tidak perlu khawatir dengan objektivitasnya.
Kaltim.akuradi.id, Samarinda – Pemerintah tengah menjalankan proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia, meskipun menuai penolakan dari berbagai kalangan. Program ini ditaksir menghabiskan anggaran sekitar Rp9 miliar, dengan target rampung pada Agustus 2025.
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon menyampaikan, bahwa penulisan ulang ini penting untuk memperbarui narasi sejarah yang selama ini belum mengalami penyempurnaan. Dia menyebut, terakhir kali sejarah nasional ditulis adalah pada era Presiden ke-3 BJ Habibie, atau lebih dari dua dekade lalu.
“Bayangkan saja, kita sudah 26 tahun tidak menulis sejarah nasional kita. Bahkan soal pemilu belum pernah ditulis sebagai bagian dari sejarah nasional. Padahal kita telah menjalani pemilu tahun 1999, 2004, 2009, hingga sekarang,” tutur Fadli Zon saat berkunjung di Kaltim, Jum’at (30/5/2025).
Ia menjelaskan, bahwa proyek ini bukan sekadar menambahkan kronologi baru, tetapi juga memperbarui pemahaman atas temuan-temuan lama. Salah satunya terkait sejarah masuknya Islam ke Nusantara.
Temuan situs Bongal di Sumatera Utara, kata dia, mendukung teori bahwa Islam sudah hadir di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi, jauh sebelum teori lama yang menyebut abad ke-13.
“Teori Buya Hamka dan para ulama NU pada sidang 1963 kini terbukti. Jadi kita perlu menyesuaikan narasi sejarah kita agar lebih akurat,” ujarnya.
113 Sejarawan Bakal Tulis Ulang Sejarah Nasional
Pria kelahiran 1 Juni 1971 ini menyoroti pentingnya menonjolkan perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan, bukan sekadar menyebut durasi penjajahan itu sendiri. Fadli menyebut, rakyat dari berbagai daerah seperti Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Bali, Lombok, hingga Jawa memiliki sejarah panjang perlawanan yang berbeda-beda dalam hal waktu tertentu.
Fadli menegaskan bahwa penulisan dilakukan oleh 113 sejarawan dari hampir 40 perguruan tinggi di seluruh Indonesia, termasuk dari Kaltim. “Yang menulis ini adalah para ahli di bidangnya. Tidak perlu ada kekhawatiran soal objektivitas,” pungkasnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Devi Nila Sari