Pengamat berpendapat, gerakan tolak calon tunggal lebih komprehensif dan demokratik daripada gerakan kotak kosong.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Beberapa waktu lalu, sejumlah masyarakat yang menyebut dirinya Relawan Kotak Kosong mendeklarasikan bakal memenangkan Kotak Kosong jika memang hanya satu pasangan yang bakal melenggang di pemilihan gubernur (Pilgub) Kaltim 2024. Deklarasi ini adalah bentuk penolakan mereka terhadap fenomena calon tunggal dalam kontestasi politik daerah.
Relawan Kotak Kosong menyatakan, keberadaan calon tunggal dalam Pilgub Kaltim mencerminkan minimnya pilihan bagi masyarakat dan menurunkan kualitas demokrasi. Hal itu mengundang reaksi dari berbagai kalangan, termasuk dari pengamat politik di Kaltim.
Pengamat Politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Jumansyah menanggapi konsep memilih kotak kosong, dengan alasan ketiadaan pilihan lain. Menurutnya, gerakan semacam ini tidak memberikan kontribusi nyata dalam konteks demokrasi yang sehat.
Untuk itu, gerakan politik yang dibangun harus lebih rasional dan berlandaskan gagasan yang jelas serta berorientasi kepada masyarakat.
“Jika alasan memilih kotak kosong karena tidak ada pilihan lain, itu menunjukkan kekurangan dalam rasionalitas ide gagasan,” kata Jumansyah.
Jumansyah berpendapat, daripada mempromosikan kotak kosong, lebih baik masyarakat dan para aktor politik membangun komunitas yang menolak calon tunggal. Lantaran gerakan ini lebih memiliki nilai argumentasi ilmiah yang kuat dan lebih sesuai dengan prinsip demokrasi
“Gerakan menolak calon tunggal lebih komprehensif dan demokratik daripada gerakan kotak kosong,” ujar Jumansyah.
Ia juga menilai, memilih kotak kosong atau golput pada dasarnya tidak ada bedanya dalam konteks kontribusi politik. “Kedua pilihan ini tidak memberikan harapan atau solusi apapun,” sebut Jumansyah.
Lebih lanjut, Jumansyah menjelaskan, fokus utama haruslah pada bagaimana masyarakat dapat membangun gerakan yang berorientasi pada pemecahan masalah yang diakibatkan oleh fenomena calon tunggal. Sebab memilih kotak kosong hanya akan mengarah pada pengulangan pemilihan tanpa solusi yang jelas.
“Dengan kotak kosong, tidak ada kesinambungan yang dapat diharapkan,” jelasnya.
Jumansyah juga menyoroti peran partai politik dalam situasi ini. Partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk menggerakkan konstituennya dan mencegah munculnya calon tunggal.
“Setiap partai memiliki konstituen yang mesti digerakkan untuk menghalau timbulnya calon tunggal, bukan justru mempromosikan kotak kosong,” tegasnya.
Ia menilai hal ini bukanlah kegagalan partai politik dalam mencetak kader berkualitas, melainkan kurangnya komitmen dan konsistensi dalam menjalankan ideologi partai.
Partai politik sebenarnya memahami posisinya dan memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai situasi politik. Namun, ia melihat ada perubahan dalam sistem ideologi, komitmen, dan pandangan partai yang semakin tidak jelas.
“Partai politik harus lebih berani mengambil langkah dinamis dalam pembangunan demokrasi, bukan sekadar mencari ketenangan,” tutupnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id