Skandal tambang ilegal di kawasan IKN dan Tahura Bukit Soeharto ungkap lemahnya pengawasan sektor minerba. PWYP desak reformasi total usai kerugian negara capai Rp5,7 triliun
Kaltim.akurasi.id, Jakarta – Terbongkarnya praktik tambang batubara ilegal di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto mengungkap lemahnya sistem pengawasan sektor pertambangan nasional. Koalisi masyarakat sipil, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menilai kasus ini sebagai cerminan nyata dari kegagalan tata kelola pertambangan yang berlangsung sistemik dan dibiarkan selama hampir satu dekade.
Penambangan ilegal yang diduga berlangsung sejak 2016 ini mengakibatkan kerugian negara hingga Rp5,7 triliun, terdiri atas deplesi batubara senilai Rp3,5 triliun dan kerusakan lingkungan sebesar Rp2,2 triliun.
“Ini bukan sekadar insiden, tapi bukti matinya fungsi pengawasan. Bagaimana mungkin aktivitas ilegal sebesar ini bisa lolos dari pantauan selama bertahun-tahun di jantung kawasan strategis nasional?” tegas Peneliti PWYP Indonesia, Adzkia Farirahman (Azil), Sabtu (20/7/2025).
Azil menekankan bahwa keterlibatan dokumen resmi dalam skema ilegal ini harus menjadi pintu masuk untuk melakukan audit menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan pemegang izin yang diduga menyalahgunakan dokumen legal.
“Kami menuntut penguatan sistem pemantauan digital, verifikasi lapangan, transparansi, dan pelibatan publik dalam pengawasan lahan-lahan konsesi tambang,” ujarnya.
Ia juga menyoroti mandeknya peran Satuan Tugas Penanganan Tambang Ilegal yang dibentuk oleh Otorita IKN sejak 2023. Meski bertugas mencegah dan menanggulangi aktivitas tambang ilegal, satgas tersebut dinilai gagal mendeteksi operasi tambang ilegal yang berlangsung selama bertahun-tahun.
“Satgas ini perlu dievaluasi total. Jangan sampai keberadaannya hanya simbolik sementara kerusakan lingkungan terus berlangsung,” tambahnya.
PWYP mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab dan segera melakukan reformasi tata kelola pertambangan, terutama pada aspek pengawasan. Dalam pengungkapan kasus ini, Bareskrim Polri menyita 351 kontainer batubara ilegal beserta alat berat, serta menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Para pelaku diketahui menggunakan dokumen resmi milik perusahaan pemegang IUP seperti PT MMJ dan PT BMJ untuk menyamarkan asal-usul batubara yang dikirim dari Balikpapan ke Surabaya.
“Modusnya, batubara dikumpulkan di stockroom, dikemas dalam karung, lalu dikirim lewat jalur laut menggunakan kontainer. Dokumen legal digunakan saat pengiriman dari Pelabuhan KKT Balikpapan agar terlihat seolah-olah batubara tersebut berasal dari tambang resmi,” jelas Azil.
Sementara itu, Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo, menegaskan bahwa skandal ini tak bisa dianggap selesai hanya dengan penetapan tiga tersangka. Ia meminta pengusutan menyeluruh terhadap seluruh pihak yang terlibat, mulai dari penerima manfaat, penyedia jasa transportasi, agen pelayaran, pelabuhan, hingga oknum aparat.
“Ini bukan kasus tunggal. Banyak praktik serupa di Kaltim yang belum tersentuh. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tambang,” ujarnya.
Buyung juga mengkritik pernyataan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang menyebut pengawasan hanya dilakukan terhadap tambang berizin. Menurutnya, pernyataan itu sangat tidak bertanggung jawab dan mencerminkan kegagalan negara dalam melakukan mitigasi serta deteksi dini terhadap tambang ilegal.
“Itu pernyataan konyol dan tidak bertanggung jawab,” katanya. (*)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id